Oleh Yudhie Haryono

Apa yang riil di republik kita? Ekonomi apa yang merealitas di negeri ini? Rasanya, dua pertanyaan itu kok mudah dijawab, tetapi sangat menyakitkan hati kita. Sebab, yang riil itu “ekonomi kolonial” dan yang merealitas itu “perekonomian para begundal.”

Padahal, usaha memerangi dua hal itu terus dikerjakan. Di banyak tempat, walau oleh segelintir orang. Dan, salah seorang yang jarang itu adalah Mubyarto. Menurutnya, di samping berbagai tantangan yang bersifat teknis dan politis bagi perekonomian Indonesia, maka yang tidak kurang pentingnya adalah tantangan ideologis.

Problemnya, ideologi kita sangat problematik karena produk hibridasi. Banyak kalangan tak satu pemikiran apalagi satu pemahaman. Pancasila belum menjadi pancasilaisme. Tafsir terhadapnya sangat minim di jurnal dan buku. Hanya banyak di jargon dan klaim.

Akibatnya, apa yang dinilai baik dan bersumber dari luar dijadikan rujukan. Padahal, seringkali beroleh hasil yang sebaliknya ketika diterapkan di sini. Maka, dalam konteks inilah Mubyarto mencetuskan gagasannya tentang Sistem Ekonomi Indonesia, yang dikenal dengan sebutan Sistem Ekonomi Pancasila. Ide kuat ini dinarasikan pada awal tahun 1980-an, yang ternyata mendapat tanggapan dengan penuh antusias dari berbagai kalangan.

Narasi itu terus bergulir walau lambat sekali perkembangannya. Di artikel ini setidaknya, salah satu kemungkinan yang cukup signifikan untuk dibahas adalah persoalan apakah selama ini Indonesia berjalan dengan landasan teori ekonomi yang salah ataukah justru orientasi dan ekonomnya yang salah.

Kita paham, pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dari sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia berulang kali hendak dihapuskan oleh beberapa ekonom begundal kolonial yang menduduki jabatan elite, baik di eksekutif maupun legislatif. Sampai kini terus berlangsung usaha dan perang tersebut. Setidaknya, via amandemen mereka menang dan bebas praktik neoliberalisme.

Dus, perdebatan mengenai akan dibawa ke mana orientasi ekonomi Indonesia selalu merujuk kepada dua kutub utama. Pertama, adanya pihak-pihak yang ingin menerapkan ekonomi-politik liberalisme ke dalam tubuh ekonomi nasional. Kedua, yakni pihak-pihak yang bersikukuh mempertahankan sistem ekonomi-politik yang berbasis Pancasila sebagai identitas dan ciri khas perekonomian nasional.

Selain adanya upaya-upaya dari beberapa pihak yang menghendaki liberalisasi perekonomian nasional melalui jalur legislasi, lahir pula persoalan lain—mengenai interpretasi dari pasal 33 UUD 1945 tersebut. Hal yang tidak bisa dipungkiri—dengan melacak kembali sisi historis bangsa kita—maka beragam orientasi tersebut barangkali merupakan sesuatu yang wajar.

Memang, secara sosial dan akademik, kolonialisme telah membentuk pola pikir sebagian sarjana dan ekonom kita berorientasi pada sistem ekonomi yang kapitalistik. Bahkan kebudayaan kita sendiri pun telah mewariskan sistem neoliberalisme yang memperanak oligarki dan kartel. Maka, membaca ekopol kita itu ya membaca pertempuran madzab itu. Tak lebih. Tak kurang. Sangat nyata, walau madzab pancasila lebih sering kalahnya.

Oh ya. Ini penting. Satu hal yang selalu disampaikan Mubyarto untuk menjawab kesalahpahaman yang telah terlanjur menjadi pemahaman umum adalah bahwa dia bukan penemu Ekonomi Pancasila. Dia hanya mengembangkan lebih lanjut konsep Ekonomi Pancasila setelah idenya didengungkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, dan untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Emil Salim dkk.

So. Agar tak salah, kita baca buku tua ini yang berjudul “Ekonomi Pancasila, Gagasan dan Kemungkinan.” Ditulis oleh Mubyarto (guru besar ekonomi di UGM) dan diterbitkan oleh lembaga keren LP3ES Jakarta. Buku ini dicetak pertama tahun 1987, setebal 238 halaman, bernomor ISBN 9789798015397.

Di buku itu, ilmu ekonomi pancasila adalah sebutan lain dari sistem ekonom pancasila dan tafsir dari sistem demokrasi ekonomi. Sistem ekonomi pancasila adalah sistem ekonomi yang berasaskan nilai dan moral pancasila. Karenanya, sistem ekonomi pancasila adalah sebuah sistem ekonomi yang dikandung di dalamnya sebuah ideologi Pancasila yang memiliki azas gotong-royong dan kekeluargaan sebagai antitesa ekonomi liberal yang gotong-nyolong serta berideologi kapitalisme.

Karena alasan itulah, sistem ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi nasional (sistem sendiri dan khas) yang dijalankan berdasarkan nilai dan moral yang terkandung dalam Pancasila. Darinya, perekonomian kita disusun sebagai usaha bersama dengan berdasarkan asas kekeluargaan, kebersamaan dan kesentosaan. Jadi, tanpa hasil sentosa bersama, semua bukan ekopol pancasila.

Ini memang masih utopis. Di samping dihajar ekonomi fundamentalis neoliberal, kita juga dikhianati para economic hit-man yang mengepung istana. Saat yang sama, komunitas epistemiknya tak tumbuh subur di mana-mana. Maka, kini ekonomi kita tinggal perngutilan, pernyolongan dan perampokan saja.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here