Oleh Yudhie Haryono
Negeri tak bermartabat. Bangsa tak berdaulat. Republik miskin. Negara tak bernegarawan. Itulah nasib kita kini. Mengapa? Karena de jure, Pancasila adalah dasar negara tetapi de facto Indonesia menjadi kurusetra tanpa jeda.
Kita jadi tempat perebutan pengaruh dua kutub ideologi dunia saat ini: kapitalisme prifat (USA) melawan kapitalisme negara (China). Dua negara dan para sekutunya ini juga terus memproduk skondan lokal yang tega mengkhianati sesama. Lahirlah dealer, bukan leader. Banjirlah politisi, bukan pemimpin.
Sila-sila dalam Pancasila sebagaimana tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara seharusnya menjiwai kehidupan mereka. Produknya berupa UU dan mental yang memastikan kesentosaan bersama, keadilan di manapun dan kapanpun demi kesejahteraan semuanya.
Dus, politik Pancasila mestinya adalah politik yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri yaitu Pancasila.
Rumusannya 5 nilai 4 program. Nilai-nilainya: bertuhan, berkemanusiaan, bergotongroyong, berdemokrasi dan berkeadilan. Program-programnya: melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, menertibkan. Rumusan tersebut pada dasarnya merupakan rangkaian yang bulat dan utuh dari semua sila dan pembukaan UUD 1945.
Kini tugas kita merevitalisasi nilai-nilai dan program-program tersebut di semua kebijakan publik agar semua warga negara mendapatkan hak dan kewajibannya sesuai janji negara merdeka.
Suatu negara Pancasila yang bermerdeka, berhukum, berkonstitusi, berpemerataan, bernalar, bersetara, berheterogen, berprestasi, berkebebasan, berkedaulatan, bermandiri, bermodern dan berkemajuan. Negara yang anti mayorokrasi (diktator mayoritas) dan anti minorokrasi (diktator minoritas).
Kini. Jika indonesia adalah menara Pancasila, Bung Karnolah yang membuat pondasinya. Pramoedyalah yang membangun temboknya. Akulah yang akan memastikan terpasang atapnya agar tugas presiden berikutnya tinggal membawa kejayaan-kemakmuran-keadilan di dunia.
Sebagai sebuah gagasan, indonesia adalah republik yang anti feodalisme (siapa ortumu); anti fasisme (apa ijasahmu); anti fundamentalisme (apa agamamu); anti kapitalisme (berapa dolarmu); anti suara dominan (mayorokrasi); anti suara tunggal (minorokrasi).
Yang ditanyakan adalah “apa gagasanmu dan apa prestasimu.” Karena itu, indonesia lahir sebagai karnal (menyimpang dari keumuman) yang hibrida; terbuka, toleran, genuin, moralis, bersih dan nalar publik. Sayangnya kini kita banjir neoliberalisme; idenya berapa duitmu dan mana hasil rampokanmu. Indonesia jadi sangat menjijikan buatku dan bagi generasi yang mencintai Pancasila.
Tetapi kini, bagi kaum idealis, negeri ini tempat untuk “bisa” memahami. Bagi kaum pengkhianat, negeri ini tempat untuk “banyak” mencuri. Bagi para aktifis, negeri ini tempat untuk “tahu” onani.
Akibatnya, sejarah indonesia adalah sejarah kerakusan dan penjajahan. Ilmu indonesia adalah ilmu penyesatan dan pengaburan. Ekonomi indonesia adalah ekonomi ilusi dan sok ilmiah. Warga indonesia adalah warga kesusahan dan kepahitan.
Kebanyakan elite indonesia adalah elite kebajinganan dan kekufuran. Agama indonesia adalah agama kepasrahan dan eskatologisme. Ya. Ini jenis indonesia lama. Yang akan berganti baru jika kamilah yang memimpinnya: dengar kerja raksasa dan pemikiran jenius lintas zaman dan waktu.(*)