Oleh Yudhie Haryono
Bukan nabi. Bukan tekhnolog. Tapi pencipta kurs dan utang piutang. Orang-orang inilah yang mencipta sistem perdagangan valas sehingga mampu mengontrol perekonomian global: menjajah negara-negara (bodoh dan miskin).
Merekalah yang mengubah pusat-pusat peradaban. Dari peradaban batu, arsitek, tekhnologi bahkan perang bintang menjadi “secarik kertas yang diberi angka.” Begitu cerdasnya, kita hanya bilang kagum dan “iya.”
Pada awalnya disebut “sistem Bretton Woods.” Itu adalah persetujuan yang mengatur nilai tukar semua mata uang (negara) terhadap emas. Tetapi, sistem ini tak membuat dominasi negara Amerika kokoh dikarenakan mereka tak banyak cadangan emasnya. Maka, tahun 1971, sistem ini diganti dengan sistem nilai tukar berbasis volume ekspor dan impor.
Pasar mata uang pun perlahan mulai berevolusi dan bergerak bebas dengan Amerika sebagai pemegang kendali karena ekspor dan negeri jajahannya besar plus tekhnologinya tinggi (mereka ekspor senjata dan produk budaya).
Negara-negara lain mulanya sulit untuk menentukan nilai tukar, namun seiring dengan perkembangan teknologi akhirnya bisa menentukan nilai tukar mata uang satu dengan yang lain dengan mudah.
Hanya di sistem pasar bebas, mata ajar matematik mati. Hanya di sistem ini, nalar kemanusiaan mati. Hanya di sistem ini, neokolonial subur dan tak dipahami manusia dengan kecerdasan biasa. Sebab, sistem ini dirancang oleh orang tercerdas abad ini. Yang bukan nabi, bukan tekhnolog apalagi tukang ziarah dan berdoa.
Kalau kalian masih anggap dengan mencium batu hitam akan kalahkan Amerika, anda mimpi di siang hari. Apalagi kalau hanya membaca kitab kuno dan menciumnya mesra seakan-akan mencium perawan ranum: anda sesungguhnya di neraka sebelum waktunya.
Maka, ingat kawan-kawanku semua. Ini soal kejeniusan. Seribu tahun lalu, orang-orang tercerdas adalah pembuat agama (para nabi). Seratus tahun lalu, orang-orang tercerdas adalah pembuat nuklir (para tekhnolog). Puluhan tahun lalu, orang-orang tercerdas adalah pembuat uang dan teori utang-piutang (para ekonometrik). Utang bersama kurs adalah hilir dari senjata neokolonial. Utang adalah uang yang dipinjam. Seseorang atau negara yang meminjam disebut debitur. Yang memberikan utang disebut kreditur.
Sebagai debitur, utang negara pada 2014 rezim SBY sebesar Rp2.604 triliun. Rezim Jokowi, per Maret 2022 Rp3.797 triliun, naik Rp293 triliun. Utang itu berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp996 triliun dan SBN (Surat Berharga Negara) sebesar Rp2.999 triliun. Yang dari pinjaman luar negeri berasal dari Jepang Rp319.6 triliun, Prancis Rp44.9 triliun, Jerman Rp30.4 triliun.
Dari negara lain Rp97.92 triliun. Bank Dunia (WB) Rp182.8 triliun, Asia Development Bank (ADB) Rp110.4 triliun, IDB Rp7.8 triliun. Lainnya Rp2.6 triliun. Dengan jumlah utang sebesar itu, kini setiap kepala warga negara punya beban 21 juta jika dibagi rata ke semua.
Dus, apa kecerdasan kreditur (para ekonometrik)? Yaitu posisi mereka tidur, kita bekerja. Mereka nagih, kita pontang-panting. Mereka mendikte, kita tak bisa tidur. Mereka bersantai, kita terjajah. Mereka golf, kita diperkosa. Kukira tak ada nabi dan tekhnolog yang lebih cerdas dari para ekonometrik.
Sebab para nabi dan tekhnolog bekerja keras, para ekonometrik bertamasya sambil berzina. So, apa solusinya jika anda presiden? Presiden sekarang dan kemarin hanya plonga-plongo.
Maka, seperti tuan Suroto Ph katakan, “Sepertinya kita sekarang hanya perlu membiasakan diri dengan krisis ekonomi hari-hari, dengan kerusakkan lingkungan tak terhenti, konflik penuh kebiadaban tak terperi. Semua itu karena kita semua telah terima doktrin persaingan dengan tangan terbuka. Itu semua karena kita telah menerimanya sebagai bagian penting dari hidup Indonesia.”
Siapa yang berwenang mengatur dan menetapkan kurs ini? Presiden tidak berwenang. Parlemen tidak berwenang. Yudikatif tak bisa menganulir. Inilah model modern state yang dielu-elukan. Bagaimana dengan ‘Pancasila?’ NKRI harga mati? Karena inilah tipikal modern state, yang tak lepas dari kooptasi ordo bankir. Mereka yang mengendalikan dan mengontrol sebuah negara. Konstitusi melindunginya. Lantas, ini yang mau dikatakan ‘sovereignty’ seperti kata Jean Bodin? Inikah Trias Politica itu? Kala parlemen tak bisa mengontrol kekurangan suatu negara. Romawi dulu menerapkan demokrasi, dengan jalan yang benar. Kekuasaan dan keuangan di bawah kendali Senat. Makhluk ‘bankir’ inilah yang sejatinya oligarki. Perang Dunia II, adalah ajang bercokolnya kaum bankir atas negara-negara. Bretton Wood, 1945, menjadi bukti bahwa otoritas negara di bawah kendali bankir. Penguasa, adalah siapa yang mengendalikan harta. Tak ada penguasa, jika tak mengendalikan harta. Maka, siapa yang layak disebut ‘penguasa’ ketika urusan uang dikendalikan bankir? Mari berpikir.