Oleh M Yudhie Haryono

Saya sedang bengong, sedih dan berdoa. Itu akibat ratusan orang dibunuh karena nonton bola. Tiba-tiba kawan dosen menelpon dan bilang telah kirim buku Ekonomi Pancasila Mubyarto untuk dikomentari semau saya. Jadi, saya jawab sudah dan sedang dibaca untuk diresensi saja.

Membaca buku ini sebenarnya membaca dan merenungi “perang pemikiran dan perang kecerdasan” antar madzab pancasila menghadapi madzab fundamentalis pasar (neoliberalisme). Sebuah perang untuk merusak mental, menghancurkan madzab pemikiran, mengikuti dan membenarkan pikiran musuh, serta menjadikan yang kalah sebagai pengikut (mengubah posisi leader menjadi dealer dan berakhir di follower).

Invasi nir-militer ini sudah lama terjadi. Dan, kita memang tak siap. Jadi, kalah dan terjajah lagi itu pasti. Road map invasi itu ada lima langkah. Pertama, penghancuran pemahaman pada sejarah perlawanan (anti kolonial), yaitu membuat warganegara ragu-ragu terhadap kemerdekaan, kedaulatan dan kemampuannya ‎(tasykik‎).

Kedua, pengaburan fakta kebenaran yang disampaikan oleh agensi, sekolah dan pendidikan berkurikulum global pada kurikulum nasionalisme (tasywih).

‎Ketiga, menghilangkan mental, pikiran, ucapan, tulisan, kepribadian dan marwah serta harga diri yang menjadi identitas negara merdeka (tadzwib).

Keempat, membuat dan memproduksi proksi agar mengikuti penjajah secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupannya dengan menganut paham yang tampak benar serta berbau westernisasi (taghrib).

Kelima, menempatkan para proksi dan begundal kolonial di posisi-posisi strategis negara: mulai dari presiden dan menteri bahkan di lembaga yudikatif, legislatif dan kampus-kampus ternama.

Buku kiriman kawan ini berjudul, “Ekonomi Pancasila: Warisan Pemikiran Mubyarto.” Ditulis oleh muridnya Dumairy dan Tarli Nugroho. Bernomor ISBN 978-979-420-8380. Diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada University Press. Cetakan Kedua, Juni 2016. Tebal 230 halaman. Ukuran 16×23 cm.

Sungguh. Menurut Mubyarto, “sistem ekonomi nasional harusnya dilandasi oleh 5 prinsip dasar, yakni Pertama, roda pemerintahan digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral yang kuat, bukan nafsu apalagi keserakahan. Kedua, kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah pemerataan sosial (egalitarianisme) sesuai asas-asas kemanusiaan yang adil beradab.

Ketiga, prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh sehingga nasionalisme menjiwai tiap kebijakan pembangunan apapun. Keempat, koperasi merupakan saka guru perekonomian dan merupakan bentuk paling konkret dari usaha bersama. Kelima adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan sosial.”

Sayangnya, itu masih mimpi menuju utopi. Walaupun, guru Mubyarto adalah legenda di UGM, baik sosok maupun pemikirannya. Ia adalah guru besar di Fakultas Ekonomi pada usia yang sangat muda. Hingga akhir hayatnya, 24 Mei 2005, ia menulis puluhan buku dan ratusan artikel, serta menghadiri ribuan temu ilmiah dan kuliah (dalam dan luar negeri).

Sulit dibantah bahwa hingga hari ini Mubyarto adalah guru besar ekonomi paling produktif di Indonesia. Bersama dengan sejumlah karibnya, seperti Hidayat Nataatmadja, M. Dawam Rahardjo dan Sri-Edi Swasono, sejak 1980 ia menarasikan gagasan Ekonomi Pancasila, yang kemudian menjadi polemik akbar sepanjang tahun 1981.

Harusnya itu jadi pijakan pembangunan nasional. Sebab, ratusan akademisi dan sejumlah Indonesianis terlibat dalam polemik tersebut, yang bisa disebut sebagai polemik paling serius dan paling panjang yang pernah terjadi di lingkungan ilmu sosial (di) Indonesia.

Buku ini menjawab bagaimana sebenarnya pemikiran Mubyarto; kenapa ia tak menghasilkan banyak murid di lingkungan almamaternya; kenapa madzabnya mati; apa saja kendala yang telah membuat gagasan Mubyarto sulit berkembang; serta komentar bernas dari dua penulis brilian. Singkatnya, ide dan buku yang keren tetapi dibunuh oleh ekonom hitman yang terus berkuasa di sekitar istana.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here