Oleh Yudhie Haryono
Saya, jujur sudah menulis keharusan pindah ibu kota dan istana sejak 1999. Bahkan langsung bicara ke Gus Dur saat beliau presiden bareng Cak Nur saat acara bukber di istana.
Apa alasannya? Seperti yang kusampaikan di berbagai forum kajian postkolonial: “Kita ini hidup di kota dan istana warisan kolonial. Kota dan istana yang dibuat penjajah untuk menjajah. Kota dan istana yang dipakai untuk merampok dan memperkosa pribumi.
Tentu saja, kota dan istana itu rasa, cita dan psikologi kolonial yang jadi alasan kehadirannya. Bukan cita rasa kemerdekaan. Bukan cita-cita Indonesia. Tak berhati, tak berpikiran dan tak sesuai dengan orang Indonesia.
Karenanya, kita perlu kota dan istana baru sebagai pembeda dari zaman penjajahan. Tentu dengan rasa, hati, pikiran dan perbuatan orang Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Karena itu mestinya, para pecinta kota, istana dan peradaban menulis sejarahnya di Nusantara. Tentu agar kota-kota kita makin beradab, bukan makin busuk, macet dan polutif seperti hari-hari ini.”
Inilah mestinya, judul riset, kajian dan buku di acaranya teman-teman arsitek Indonesia. Kota dan istana ala Indonesia agar raya ujung peradabannya.
Sebab, dalam riset sederhana kota dan istana di nusantara masa lalu, kota dan istana kita mestinya merupakan akumulasi spiritual dan intelektual plus sosial-kapital.
Terlebih, polis atau kota adalah tempat bertemunya kepercayaan kepada Tuhan dan kepercayaan kepada Manusia untuk membentuk homo sosio-spiritual yang eco-antro-theo centris. Lahirlah artefak-artefak kegemilangan adab, akal, inovasi dan tekhnologi.
Tidak seperti kota dan istana di Indonesia kini: tempat bertemunya begundal dan pecundang yang melanggengkan mental kolonial dan praktik jahat pada sesama.
Adakah kita berani meneruskan kemerdekaan dari kolonial, dan kemudian kemerdekaan untuk membangun kejayaan? Inilah saatnya. Soal tekhnis dan lain-lain, kita ikuti saja kehendak rakyat yang ada di DPR-MPR.
Pindah kota dan istana juga merupakan usaha menghapus kemiskinan dan kesenjangan. Kemiskinan karena kita tinggal di kota lama tanpa keadilan sosial, dan menetap di istana lama tanpa kemanusiaan semesta yang berpersatuan plus bergotong royong. Kota dan istana purba yang hanya gotong nyolong penumbuh keluarga sakit jiwa.
Bagaimana teoritisnya? Tentu ini metoda baru walau belum maksimal hasilnya. 74 tahun kita sudah merdeka dan makin stabil angka kemiskinan kita adalah fakta. Rezim-rezim yang ada “gagal” menghempaskan kemiskinan dari rumah-rumah kita.
Di program ini, kami punya hipotesa berbasis kajian postkolonial. Bahwa kita miskin karena over populasi. Maka, program dan solusinya adalah depopulasi. Bentuknya merevitalisasi kegiatan keluarga berencana (KB).
Ini adalah gerakan untuk membentuk keluarga sehat, sejahtera dan makmur dengan membatasi umur pernikahan dan jumlah kelahiran. Perencanaan umur pernikahan yang dewasa dan rencana jumlah keluarga dengan pembatasan anak. Umur nikah 20 tahun dan jumlah anak dalam keluarga adalah satu. Tak boleh lebih.
Dalam kajian postkolonial, postulat keluarga ada tiga: miskin, rata dan kaya.
Miskin, kategori postokolonial adalah saat anak mensubsidi orang tua dan kakek-nenek (stream up). Rata, kategori postkolonial adalah saat orangtua mensubsidi anak (resiprokal event). Kaya, kategori postokolonial adalah saat kakek-nenek mensubsidi cucunya (stream down).
Dus, makin umur saat menikah dan makin sedikit anak saat berkeluarga akan memastikan makin berkwalitas keluarga di masa depan. Kwalitas keluarga menentukan kwalitas negara. Menghapus kemiskinan negara dimulai dengan menghapus kemiskinan keluarga.(*)