Hariansemarang.id – Aktivis Reformasi 98 dan Waketum Partai Gelora Fahri Hamzah mengkritik keras pernyataan Ketua KPU RI Hasyim Asyari yang berbicara kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup atau pemilih hanya mencoblos gambar parpol, bukan caleg, pada Pemilu 2024.
Fahri menilai ada upaya kesengajaan dari partai tertentu untuk mendorong Hasyim agar membantunya berkuasa.
Nah gegara ngomong begitu, Fahri Hamzah dikatain cacat konstitusi. Lho kok bisa begitu. Yuk simak selengkapnya.
Kritikan Fahri Hamzah kepada Ketua KPU soal wacana penerapan sistem proporsional tertutup itu jadi perhatian. Dalam pernyataannya, Fahri sampai singgung soal politik komunis lho.
“Kalau betul Ketua KPU didorong partai politik untuk mengakhiri pencoblosan nama calon pejabat, khususnya wakil rakyat yang kita pilih. Itu artinya, kita sudah masuk era politik partai komunis, yang ingin menguasai dan mengontrol seluruh pejabat publik, khususnya anggota legislatif,” kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, Jumat pekan lalu.
Kritik keras Fahri kepada Ketua KPU RI tersebut ditanggapi oleh advokat dan Direktur Politik Perundang-Undangan 2Indos, Khalid Akbar.
“Sistem Proporsional Terbuka pada pemilihan anggota DPR RI dan anggota DPRD Kota/Kabupaten yang berlangsung dan berlaku sejak 2009 sampai dengan saat ini bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” jelas Khalid dalam rilisnya.
Kritikan keras Fahri itu menurut Khalid cacat konstitusi. Sebagai tokoh publik, Khalid mengatakan seharusnya Fahri tidak memberikan pernyataan tergesa-gesa dan emosial. Sebagai politikus senior, terpilih jadi anggota DPR tiga kali berturut turut sejak 20024, Khalid menasehati Fahri untuk melakukan kajian hukum mendalam terlebih dahulu sebelum mengkritik keras.
“Fahri mestinya tau Sistem. Hukum di Indonesia menganut Asas Lex Superior Derogate Legi Inferiori, yang dapat diartikan bahwa peraturan-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-perundangan, tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi,” jelas Khalid.
Dikutip dari Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at dalam buku Teori Hans Kelsen tentang Hukum (2006), norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan yang dibuat adalah inferior. Artinya Hans Kelsen mengemukakan pendapat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal dengan adanya Teori Jenjang Hukum (Stufentheorie/stufenbau) yang menggambarkan adanya tata hukum yang melandasi pembuatan hukum suatu negara.
Untuk menegaskan Indonesia menganut asas dan teori hukum tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang dapat ditemukan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang melegalisasi Stufentheorie (Teori Jenjang Hukum), yaitu:
1. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang ;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Selama 15 tahun pernah menjalankan fungsi legislasi di DPR RI, Khalid mengatakan, Fahri seharusnya wajib memahami konsepsi hukum untuk menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang yang didasari Asas Lex Superior Derogate Legi Inferiori dan Stufentheorie.
Khalid Akbar menegaskan, pernyataan Fahri bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan patut dikritik agar tidak menyesatkan masyarakat dalam memahami konsepsi bernegara yang berdasarkan hukum.
Direktur Politik Perundang-undangan 2Indos itu memiliki beberapa alasan, antara lain:
1. Statement Fahri bertentangan dengan asas Lex Superior Derogate Legi Inferiori dan Stufentheorie;
2. Statement Fahri Hamzah bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
3. Pasal 22 E Amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
4. Sistem Proposional Terbuka yang diatur pada Pasal 168 ayat (2) dan Pasal 342 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 22 E Amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
5. Bahwa selain daripada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga terdapat beberapa Undang-Undang lain yang juga mengatur Sistem Proposional Terbuka pada Pemilihan Anggota DPR RI dan DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten, yang mana Undang-Undang tersebut lahirnya di periode Fahri Hamzah masih menjabat sebagai anggota DPR RI;
6. Bahwa sistem hukum komunis, menganut sistem politik satu partai, yaitu partai komunis. Partai Komunis tidak mengenal adanya partai oposisi sedangkan KPU sudah meluluskan 18 Partai Politik yang akan ikut berkompetisi sebagai peserta Pemilu 2024 ditambah 6 Partai Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam;
7. Jika Fahri Hamzah masih ingin juga bersikeras untuk mempertahankan Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mestinya Fahri Hamzah mengusulkan MPR RI untuk amandemen ke-5 pada Pasal 22 E Amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
8. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan Negara Indonesia adalah Negara Hukum
9. Partisipasi politik warga negara dalam sistem demokrasi bisa dilaksanakan secara langsung perorangan maupun melalui sistem perwakilan (diwakili oleh partai politik) yang sejalan dengan Sila ke-4 Pancasila.
Selanjutnya, Khalid Akbar menyarankan Ketua KPU Hasyim Asyari Periode 2022-2027 ini, sebaiknya mampu menjaga sikap dan tidak memberikan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
“Sebagai sarjana hukum Jurusan Jurusan Hukum Tata Negara (HTN) dengan spesialisasi kajian hukum dan politik, harusnya Hasyim paham perihal adanya cacat hukum pada Undang-Undang Pemilu dan mampu menjelaskan dengan argumentasi-argumentasi hukum logis terkait Sistem Proposional Terbuka yang sudah diterapkan sejak pemilu 2009 sampai dengan pemilu 2019 dan kemungkinan besar juga akan diberlakukan pada pemilu 2024.
Direktur Politik Perundang-undangan 2Indos ini tegas mengatakan yang sesuai dengan ruh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sistem Pemilu proporsional tertutup.(*)