Oleh Yudhie Haryono
Habis. Kita kehabisan manusia pancasila. Kini, di mana saja dan kapan saja pejabat kita ditangkap KPK. Kini, siapapun KKN dan beragama “nyogok alias suap.” Tak henti-henti kabar dan peristiwa itu terjadi. Malu sudah tak tertradisi, moral sudah bejat sejak mula, akhlak tertinggal di kitab-kitab suci, kesopanan dan keadaban tinggal legenda dan kisah saja.
Saat berbondong-bondong pemuka agama ikut berpolitik, dunia kita bukan membaik, tapi sama saja hasilnya. Karena ternyata, sudah niat ngutil dari nalarnya. Aku ngutil maka aku ada. Aku pemuja harta, tahta dan wanita. Singkatnya kita defisit negarawan, hilang bangsawan dan kehabisan manusia paripurna.
Padahal, dasar-dasar kita bernegara sudah demikian kokoh dirancang dalam konstitusi agar agensinya berkarakter spiritual. Dalam dasar statis tertulis, “manusia pancasila itu berketuhanan” yang wajib melakukan empat dasar dinamis. Apa itu? Bertuhan yang melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan menertibkan.
Artinya, kita tak bisa mengaku bertuhan kecuali dengan laku yang jelas: melindungi segenap tumpah darah dan isinya. Dus, jika ditemukan satu saja rakyat tak terlindungi maka kita tak layak mengaku bertuhan.
Kedua bertuhan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Dus, jika ditemukan satu saja rakyat bodoh dan tak bisa sekolah maka kita tak layak mengaku bertuhan.
Ketiga bertuhan yang menyejahterakan semua penghuni republik. Dus, jika ditemukan satu saja rakyat miskin, paria dan budak maka kita tak layak mengaku bertuhan.
Keempat bertuhan yang menertibkan agar kita bermartabat di dunia. Dus, jika ditemukan satu saja keputusan publik yang membuat negeri ini tak bermartabat di mata dunia maka sesungguhnya kita tak layak mengaku bertuhan.
Satu dasar dinamis ini harus selalu terjilid dengan empat dasar dinamis. Tak boleh sepotong-sepotong, melainkan hibridasi dan saling menopang satu sama lainnya.
Saat yang sama, semua warganegara harus yakin dan menjalankan negara ini karena “Atas berkat rakhmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Keyakinan ini dikuatkan dalam pasal 9 tentang keharusan sumpah jabatan atas nama Tuhannya. Lalu pasal 29 tentang agama.
Klaim dan tesis tersebut tentu baru di atas kertas. Belum merealitas. Sebaliknya, kami sadar sepenuhnya bahwa kepemimpinan berbasis spiritualitas Indonesia sebagai bangsa dan negara sedang berada di titik nadir. Tanpa martabat. Tanpa azimat. Minus geliat. Karenanya menspiritualkan kembali adalah keniscayaan. Atau bagaimana dengan pikiran kalian?
Kepada kalian semua rakyat Indonesia. Kalian yang kini entah di mana. Yang menderita karena cinta kalian kepada hidup dan Indonesia. Kalian yang memberikan senyuman abadi. Di antara pengkhianat republik dan begundal tipu-tipu istana (pusat dan daerah). Yang tahu kebijaksanaan walau hidup kadang tak adil. Sering sekali tak adil bahkan jahat bin bejat tapi cinta kalian lengkapi penderitaan kaum miskin kota.
Kalian laskar pancasila. Diam atau melawan yang takkan terikat waktu. Tak terbelenggu cinta harta dan tahta. Apalagi lawan jenis. Jangan berhenti mewarnai. Jangan berhenti revolusi. Jangan sekarat dan limbo. Sebab ada jutaan mimpi di bumi. Kalian harus bergerak seperti Covid yang memilih korban tanpa tanya. Yang harusnya menikam pejabat-penjahat dan kawannya.(*)