Dilematis sistem proporsional Pemilu. Foto Muhammad Bayanul Lail
Dilematis sistem proporsional Pemilu. Foto Muhammad Bayanul Lail

Oleh Muhammad Bayanul Lail, S.Pd.I.

Sejak Indonesia merdeka, demokrasi dipilih menjadi salah satu pilar penyelenggaraan negara yang diwujudkan  melalui suksesi Pemilu secara periodik. Proses Demokrasi ini pun mengalami perkembangan dari masa ke masa.

Pada transisi demokrasi pasca- pemerintahan Soeharto yang digantikan oleh BJ Habibie antara lain ditandai dengan dibahasnya paket undang-undang (UU) bidang politik yang menghasilkan UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Upaya tersebut mengarah pada terciptanya sebuah sistem politik yang lebih demokratis dibandingkan masa sebelumnya, seperti tumbuh dan terbentuknya partai politik (parpol) yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1999 karena adanya kebebasan warga negara untuk mendirikan Partai Politik.

Seiring waktu, gairah kepartaian di Indonesia semakin dinamis. Dari segi kuantitas, jumlah partai politik sejak pemilu pertama tahun 1999 hingga pemilu terakhir tahun 2019 lalu memang menurun, namun dari segi kualitas partai politik mulai mampu merebut simpati masyarakat dan mampu melakukan tugas sebagai kanalisator demokrasi yang optimal. partai politik bukan lagi ‘kendaraan’ penguasa saja seperti di era Orde Baru, namun dapat mengantarkan siapa saja, dari latar belakang apa pun, untuk menduduki sektor-sektor publik, baik pusat maupun daerah.

Partai politik memang sangat erat hubungannya dengan kehidupan demokrasi. Bahkan, salah satu syarat demokrasi adalah kehadiran partai politik sebagai salah satu instrumen kuncinya.

Konstruksi fundamental sistem Pemilu di Indonesia seperti yang tertuang dalam UUD 1945 adalah demokrasi prosedural. Secara sederhana demokrasi dapat dipahami sebagai persaingan meyakinkan rakyat agar mereka memilih para calon pemimpin politik maupun partai politik (parpol)untuk menduduki jabatan-jabatan dipusat maupun didaerah baik itu dalam legislatif ataupun eksekutif (Surbakti, 2008:11).

Terkait demokrasi, partai politik disebut sebagai pilar tegaknya demokrasi. Hal ini dapat dimaknai kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara bergantung pada kualitas partai politik untuk mengemban amanah dari masyarakat. Untuk merealisasikan harapan masyarakat, maka menjadi sebuah keharusan bagi partai politik untuk menjadikan dirinya lebih baik. partai politik harus berkomitmen untuk menjadi pilar yang benar-benar membawa kesejahteraan dan kemajuan bagi bangsa dan negara.

Pemilihan umum yang bebas merupakan salah satu syarat penting dalam sebuah negara demokrasi. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dimaksud pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di Indonesia telah berulang kali dilangsungkan pemilu. Pemilu pertama dilaksanakan pada tahun1955, setelah itu berturut-turut dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. Setelah berakhirnya era Presiden Soeharto, Pemilu kembali dilaksanakan pada tahun 1999, 2004,2009, 2014 dan terakhir pada 2019.

Salah satu   aspek yang penting dalam penyelenggaraan pemilu adalah sistem pemilu yang digunakan. Terdapat berbagai macam sistem pemilu yang pernah diterapkan di Indonesia, salah satunya adalah sistem proporsional. Terdapat dua macam sistem proporsional yang pernah diterapkan di Indonesia yaitu sistem proporsional daftar tertutup dan sistem proporsional daftar terbuka.

Pada rentang waktu 1971 hingga 1999, Pemilu menggunakan sistem perwakilan ber- imbang (proporsional) dengan stelsel daftar t ertutup untuk memilih anggota Dewan Perwa- kilan Rakyat (DPR). Cara kerja sistem tersebut adalah pemilih memberikan suaranya hanya dengan mencoblos gambar partai, suara partai untuk kesempatan pertama akan diberikan kepada calon nomor urut teratas. Setelah nomor urut teratas mendapatkan kursi sesuai dengan besaran suara yang dibutuhkan, maka  apabila masih terdapat sisa suara parpol, suara tersebut akan diberikan kepada calon nomor berikutnya (Budiardjo, 2018).

Era baru sistem Pemilu dimulai pada 2004, sistem Pemilu pada saat itu mengalami sedikit perubahan dari sistem sebelumnya. Pemilu dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon semi terbuka. Seiring dengan adanya perubahan Undang- Undang Pemilu, penggunaan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka mulai diaplikasikan pada Pemilu 2009 hingga Pemilu terakhir 2019.

Secara umum sistem pemilihan umum dapat dibedakan  dalam dua macam, yaitu sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu yang sama. Sedangkan sistem pemilihan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga) fungsi terentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas) (Asshadiqque, 2008:2).

Selanjutnya sistem mekanis sendiri, dalam pelaksanaannya menggunakan dua cara, yaitu sistem perwakilan distrik/ mayoritas (single member contituencies) dan sistemberimbang (proportional representation). (Suny, 1970:114).

Gagasan pokok sistem perwakilan berimbang (proportional representation atau sering disebut multi-member constituency) ialah bahwa jumlah kursi parlemen yang diperoleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat. Diperlukan suatu perimbangan, misalnya jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum tercatat ada 1.000 000 (satu juta) orang, dan jumlah kursi di lembaga perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi, maka untuk satu orang wakil rakyat dibutuhkan suara 10.000. Negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang besar (yang lebih besar daripada distrik dalam sistem distrik), dan setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu.

Sistem perwakilan berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, antara lain dengan Sistem Daftar (List System). Pada sistem daftar setiap partai atau golongan mengajukan satu daftar calon-calon dan si pemilih memilih salah satu dari berbagai daftar dan dengan demikian memilih satu partai dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu, untuk berbagai kursi yang sedang diperebutkan. Sistem perwakilan berimbang dipakai di kebanyakan negara di dunia antara lain Belanda, Swedia dan Belgia

Di Indonesia sistem perwakilan berimbang, dikombinasikan dengan sistem terdaftar, telah dipakai dalam beberapa pemilihan umum yang pernah diselenggarakan. Untuk  memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Sedang pemilu untuk memilih anggota DPD, dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak (Pasal 5 Ayat 1 dan 2, UU No. 10 Tahun 2008, tentang Pemilihan Umum, Anggota DPR).

Pada pemilu 2019 yang dilakukan secara serempak. Pemilu DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional terbuka (suara terbanyak)  Hal ini dijelaskan dalam UU Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Ada 3 macam Pemilu, yaitu Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilu DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional terbuka (suara terbanyak), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggunakan sistem distrik berwakil banyak. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Sistem Proporsional Terbuka dan Sistem Proporsional Tertutup

Sistem pemilu merupakan permasalahan pertama dalam melaksanakan pemilihan umum legislatif. Salah satu sistem pemilu  yang digunakan dalam pemilihan umum legislatif di Indonesia adalah sistem proporsional. Gagasan pokok dalam sistem ini adalah proporsi  kursi yang dimenangkan oleh suatu partai dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut dalam pemilihannya. Tingkat proporsionalitas suara dalam perolehan kursi menunjukkan bahwa dalam sistem ini tidak banyak suara yang terbuang (Fahmi, 2018:68)

Dalam Handbook Desain Sistem Pemilu (2016) menyebutkan bahwa setidak-tidaknya ada empat bentuk keterwakilan atau representasi. Pertama, representasi geografis, bentuk representasi ini yang menunjukkan bahwa terdapat Anggota-Anggota Badan Legislatif yang dipilih oleh masyarakat yang kemudian bertanggung jawab kepada daerah dimana dia dipilih. Baik daerah itu berupa kota kecil, kota besar, sebuah provinsi maupun bentu wilayah lainnya. Kedua, pembagian ideologis, artinya terdapat partai- partai politik atau wakil-wakil independen atau kombinasi keduanya yang mewakili masyarakat dalam sebuah lembaga legislatif.

Ketiga, dalam suatu negara terdapat partai-partai politik yang bahkan tidak mempunyai sebuah basis ideologis direprentasikan melalui sebuah badan legislatif yang menggambarkan situasi politis-partai. Sebuah sistem Pemilu dapat dikatakan tidak merepresentasikan kehendak rakyat apabila ada setengah dari jumlah pemilih yang memberikan suaranya untuk satu partai politik tertentu akan tetapi partai tersebut tidak, atau nyaris tidak, memenangkan satu pun kursi dibadan legislatif.

Keempat, konsep representasi deskriptif, konsep ini berpandangan bahwa badan legislatif mestinya memandang, merasakan, berpikir dan bertindak dalam cara yang mencerminkan rakyat secara keseluruhan, danhingga batas tertentu harus menjadi “cermin bangsa”. Sebuah badan legislatif dianggap cukup deskriptif apabila didalamnya terdapat inklusifitas dan keberagaman, isinya memuat kaum perempuan dan laki-laki, miskin dan kaya,tua dan muda, dan menggambarkan afiliasi keagamaan, komunitas linguistik dan kelompok-kelompok etnis yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat(Reynolds, 2016:9).

Pemilu terbagi menjadi dua model; proporsional dengan daftar calon tertutup (close list) dan terbuka (open list) (Reynolds, 2016). Kedua sistem ini menimbulkan pro dan konta di masyarakat. Sebagian ada yang pro dengan sistem proporsional tertutup, dan sebagian lagi kontra terhadap sistem tersebut, begitu juga sebaliknya.

Sistem proporsional dengan daftar calon tertutup memberikan keleluasaan pada partai dalam proses rekrutmen dan menyusun perwakilan dilegislatif dan pemilihhanya memilih gambar partai saja, sebaliknya, pada sistem proporsional daftar terbuka mulai dari poses rekrutmen hingga penyusunan caftar calon peran partai memiliki porsi yang minimal karena proses pencalonan publikikut dilibatkan, pada sistem ini pemilih disuguhkan daftar nama calon dan secara ideal hanya memilih nama calon. Ada asumsi  sekaligus harapan dari sistem proporsional daftar terbuka bahwa pemilih tidak lagi memilih kucing dalam karung, karena pemilih tahu profil sekaligus jejak rekamnya, sehingga ketika terpilih nanti, antara pemilih dan wakil terpilih terjalin hubungan politik yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable political relationship).

Dikarenakan sistem proporsional terbuka berbasis kandidat maka muncul persaingan antar kandidat dalamsatu partai, persaingan kandidat antar partai, dan persaingan kandidat antar daerah pemilihan dalam merebut kursi diparlemen yang terbatas (Syafriandre, Zetra, & Amsari, 2019)

Sistem pemilu di Indonesia telah mengalami perubahan, dari sistem proporsional daftar tertutup menjadi daftar tebuka. Dalam perubahan tersebut tidak sepenuhnya terbuka, namun lebih cenderung pada sistem proporsional semi daftar terbuka. Hal ini dikarenakan dalam penentuan mengenai siapa yang akan mewakili partai dalam perolehan kursi di parlemen tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan pada nomor urut. Meskipun ada calon kandidat diluar nomor urut, maka calon tersebut harus memiliki suara yang mencukupi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) (Marijan, 2012).

Penerapan sistem pemilu proporsional daftar terbuka tdak terlepas dari pro dan kontra di kalangan masyarakat, tetapi juga dikalangan fraksi yang duduk di parlemen dalam merumuskan RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perdebatan yang lebih substantif tentang sistem pemilu terjadi pada tahun 2008 ketika dilakukan proses perumusan terhadap RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian menjadi UU Nomor 10 Tahun 2008.

Pembahasan mengenai pilihan sistem pemilu menjadi materi utama yang diperdebatkan, yaitu apakah hendak menggunakan sistem proporsional terbuka, atau proporsional terbuka terbatas, atau kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Pembahasan lainnya yang memiliki kaitan langsung dengan pilihan sistem pemilu adalah beberapa aspek lain dalam sistem pemilu, yaitu pembentukan daerah pemilihan, alokasi kursi tiap daerah pemilihan, ambang batas (threshold), dan konversi suara menjadi kursi. Aspekaspek tersebut menjadi bagian dari proses perumusan terhadap sistem pemilu secara keseluruhan.

Namun, sistem pemilu proporsional terbuka ini terus disorot karena dinilai sebagai tingginya biaya politik, khususnya bagi calon kandidat. Biaya kampanye masing-masing calon anggota legiilatif dalam setiap penyelenggaraan pemilu akan mengalami kenaikan terus menerus. Hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraan pemilu 2009, biaya kampanye diperkirakan mencapai 3,3 milyar rupiah dan pada tahun 2014 biaya kampanye mengalami kenaikan yang cukup tinggi diperkirakan dapat mencapai 4,6 milyar rupiah, dan kampanye 2019 yang diperkirakan mencapai 2 trilyun rupiah. (Kompas.com, 2 mei 2019).

Sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak tidak hanya memperlemah partai politik sebagai sebuah institusi demokrasi menjadi sekedar event organizer tetapi juga dapat memberikan insentif bagi para calon legislatif, pemilih dan petugas pemilu dalam transaksi jual beli suara. Ketika suara yang diberikan kepada nama calon lebih penting daripada suara yang diberikan kepada Partai Politik, dan ketika penetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan urutan jumlah suara yang diperoleh calon, maka Partai Politik tidak saja kehilangan legitimasi dari rakyat tetapi juga kehilangan peran sebagai peserta pemilu. Ketika jumlah kursi yang diperebutkan di setiap Dapil berkisar antara 4 sampai dengan 9 kursi, maka peluang partai politik ‘kecil’ memperoleh kursi semakin besar.

Seorang calon tidak perlu mencapai suara mayoritas ataupun BPP untuk dapat ditetapkan sebagai calon terpilih. Seorang calon hanya memerlukan jumlah suara lebih banyak daripada jumlah suara calon lain dari Partai yang sama dan di Dapil yang sama untuk ditetapkan sebagai calon terpilih. Ketika peran calon jauh lebih penting daripada partai dalam melakukan kampanye, maka Besaran Dapil ukuran Sedang dan penetapan calon terpilih berdasarkan jumlah suara lebih banyak merupakan potensi untuk melakukan transaksi jual beli suara. Jual beli suara akan difasilitasi oleh Partai Politik pemegang otoritas apakah calon tersebut nantinya akan diberi suara atau tidak. Hal ini menyebabkan setelah calon terpilih duduk di parlemen, mereka berlomba-lomba mencari modal guna mengembalikan mahar.

Dalam penentuan calon terpilih, Mietzner (2009) menjelaskan bahwa sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak telah menjadikan pemilu menjadi sangat mahal dan melahirkan problem yang multikompleks. Pengaturan sistem pemilu 2009 dan 2014 yang didasarkan pada suara terbanyak telah memprovokasi lahirnya model kompetisi antar calon dalam pemilu yang tidak sehat. Sebab, orientasi meraih suara terbanyak telah mendorong caleg banyak melakukan kecurangan guna merayu pemilih dalam berbagai bentuk, seperti: pembagian uang tunai antara Rp. 50.000 – Rp.200.000 per pemilih, pemberian door prize, bantuan sosial, pembelian pulsa, pemberian pakaian, pengobatan gratis hingga perbaikan infrastruktur seperti pengaspalan jalan, semenisasi dan perbaikan fasilitas publik. Berbagai bentuk kecurangan ini dapat dikualifikasikan sebagai politik uang (Riwanto, 2014).

Logikanya, biaya politik yang begitu mahal pada saat kampanye menimbulkan potensi besar bagi anggota DPR dan DPRD yang terpilih berperilaku korupsi politik. Para anggota DPR dan DPRD harus mengembalikan modal uang yang dilakukan saat berkompetisi dalam pemilu. Perilaku korupsi politik ini diperkuat dari tahun ke tahun, selalu saja ada kasus – kasus korupsi yang menjerat anggota DPR oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berbagai kasus suap dan korupsi menjerat para anggota DPR dan DPRD. Pada periode 2009 – 2014 sebanyak 36 orang anggota DPR dari berbagai lintas partai terjerat kasus korupsi. Sementara itu, sejak dilantik pada tanggal 1 Oktober 2014, sudah 7 (tujuh) orang dari 560 anggota DPR periode 2014 – 2019 ditangkap oleh KPK dengan dugaan menerima suap.

Motif korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR selain untuk mengembalikan modal pada saat kampanye pemilu, juga disebabkan tidak jelasnya model pembiayaan organisasi partai politik untuk survavilitas partai. Sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai tak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga. (Pamungkas, 2008).

Dalam sistem proporsional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik.
Melalui sistem proporsional tertutup, setiap partai memberikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan (Dapil). Dalam proses pemungutan suara dengan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih parpol. Kemudian setelah perolehan suara dihitung, maka penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor. Hal ini mengingatkan lagi kepada praktik di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Bisa saja ada diskriminasi perlakuan terhadap caleg partai yang maju. Pimpinan partai bisa semena-mena menentukan nomor urut, jadi yang dekat dapat nomor urut yang baik. Yang tidak beprestasi belum tentu mendapatkan nomor urut yang baik. Padahal haknya rakyat mendapatkan calon yang berkualitas.

Berikut adalah Tabel kelebihan Sitem proporsional terbuka dan system proporsional tertutup

Kelebihan

Sistem proporsional tertutup Sistem proporsional terbuka
1. Memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya

2. Mampu meminimalisir praktik politik uang.

3. Meningkatkan peran parpol dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi parpol.

1. Mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan.

2. Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan kandidat.

3. Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang dikehendakinya.

4. Partisipasi dan kendali masyarakat meningkat sehingga mendorong peningkatan kinerja partai dan parlemen

 

Kelemahan

Sistem proporsional tertutup Sistem proporsional terbuka
1. Munculnya potensi ruang politik uang di internal parpol dalam hal jual beli nomor urut

2. Menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascapemilu. Potensi menguatnya oligarki di internal parpol.

3. Tidak responsif terhadap perubahan yang cukup pesat.

4. Pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa kandidat caleg yang dicalonkan dari partai politik.

1. Persaingan antarkandidat di internal partai.

2. Membutuhkan modal politik yang cukup besar sehingga peluang terjadinya politik uang sangat tinggi.

3. Penghitungan hasil suara rumit.

4. Sulit menegakkan kuota gender dan etnis.

5. Muncul potensi mereduksi peran parpol.

 

Pada akhirnya pilihan sistem pemilu ini seperti simalakama jika tidak disikapi secara dewasa. Perlunya pendewasaan budaya politik. Demokrasi yang kokoh, stabil dan dewasa ditandai oleh budaya politik yang menghargai kompetisi, perbedaan pendapat dan pilihan, toleransi yang asli bukan pura-pura, rasionalitas dalam bersikap dan memilih, komunikasi politik yang terbuka, partisipasi masyarakat yang otonom, dan kesetaraan dalam mobilitas vertikal individu atas dasar kompetensi dan kualitas diri. Pendewasan perilaku dan budaya politik masyarakat dan elite akan lebih mudah dibentuk dalam sistem kompetisi yang terbuka, fair, jujur dan adil.

Penulis adalah Pemerhati Demokrasi Indonesia, alumnus UIN Walisongo Semarang dan mantan Ketua HMI Cabang Semarang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini