Oleh Agus Haryono – Peserta Program KKK Nusantara Centre
Apa yang tak hadir kini di republik Pancasila? Adalah hikmah yang absen. Demikian simpulan kelas karakter konstitusi Minggu ke-3 yang diisi oleh Guru Setyo Hajar Dewantoro (SHD). Guru Setyo membahas tentang sila ke-4 dari Pancasila, “Kerakyatan Yang Dimpimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Ini sila pengilham struktur politik kenegaraan kita.
Kali ini peserta yang hadir penuh dan ceria. Panitia optimis dan bahagia. Peserta kelas terdiri dari berbagai macam komunitas masyarakat, mahasiswa dan aktifis. Guru SHD menyampaikan materinya seperti berkisah berdasarkan pengalaman otentik sebagai guru spiritual, aktifis sosial politik, dan penulis buku yang laris dan banyak tema plus judulnya.
Ia menguraikan sila ke-4 dengan memulai dari Pancasila sebagai dasar negara dan way of life (cara hidup) bangsa Indonesia. Menurutnya, Pancasila itu benar-benar sakti dan layak menjadi dasar negara Indonesia. Bahwa kemudian Pancasila disebarluaskan dengan cara-cara tertentu dan belum berhasil (bahkan dihapus dari mata pelajaran sekolah formal), itu sesuatu hal yang lain.
Karena konsensus bahwa Pancasila adalah dasar negara, maka mestinya seluruh perundang-undangan yang ada di negeri ini tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Dari UUD, UU, perarturan pemerintah, peraturan gubernur sampai peraturan daerah paling kecil. Semua harus merujuk ke sana. Tanpa merujuknya, maka undang-undang itu batal demi hukum, tidak layak diikuti dan dipedomani.
Ketika UUD 1945 diamandemen berkali-kali, itupun harus terhubung dan dihubungkan dengan Pancasila. Pertanyaannya, apakah hasil amandemen kemarin sesuai dengan Pancasila? Ini yang menjadi keprihatinan Guru SHD, bahwa berkali-kali diamandemen dengan berbagai macam cara ternyata belum sesuai dengan Pancasila; bahkan mengkhianatinya.
Apa penyebabnya? Ternyata karena para pemimpin negeri ini belum sepenuhnya menghayati, mengerti dan memahami Pancasila, sehingga suasana batin para founding fathers saat membentuk negara ini tidak bisa dirasakan dan diimplementasikan. Mata ajar Pancasila dari sisi genealogi tak hadir, dari sisi gerak batin absen, dari sisi posisi pemikiran dan perasaan, defisit.
Tentu saja, kalau mengandalkan cara kognitif, banyak ahli di negeri ini yang bisa membuat konsepnya. Tapi, itu tidak bisa menyadarkan pemimpin dan rakyatnya untuk menghayati dan memahami Pancasila. Maka, cara yang ditawarkan Guru SHD adalah kita terapkan dulu Pancasila sebagai way of life. Kita balik dulu pakai cara ini. Walaupun waktunya tidak cepat, tetapi telah membuat bangsa ini bisa hidup dengan cara yang juga telah dilakukan oleh pendahulu masa zaman sebagai bangsa Nusantara.
Apakah cara di atas bisa berhasil merubah menjadi lebih baik? Tentu bisa. Terlebih ini masalah manusia. Yaitu manusia yang selalu punya kesadaran ketuhanan. Kalau manusianya tidak punya kesadaran Ketuhanan Yang Maha Esa, mereka tentu akan sulit menyadari tentang kemanusiaan yang adil dan beradab. Dus, selama tidak hidup dalam kesadaran Ketuhanan Yang Maha Esa, kesadarannya hanya keuangan Yang maha kuasa. Kesadaran yang seperti ini tidak mungkin bisa merubah UUD hasil amandemen menjadi yang sejati, sesuai dengan Pancasila.
Tentu saja, idealisme saja tidak cukup untuk mengahadapi kenyataan guna merubah nasib bangsa dan negara. Jangankan bangsa-negara Indonesia (yang besar ini), kampung saja, kalau masih Keuangan Yang Maha Kuasa, susah sekali merubah karakternya menjadi kampung yang sejati. Maka, ini soal pangkal, soal utama, soal subtansinya: percaya pada Tuhan dulu.
Berdasarkan pengalaman di NGO, maka Guru SHD mengerti bagaimana korupsi berjamaah terjadi. KKN jadi hal biasa dan mentradisi. Dari sini kita bisa simpulkan ada kepribadian yang terpecah. Di satu sisi di hadapan rakyat, birokrat bisa bicara apapun tentang Pancasila, tentang agama, moral dll. Tetapi, di balik layar tindakan bisa berubah, kembali pada kebiasaannya. Dus, di lapangan berbeda dengan apa yang terlihat. Mentalnya jadi “munafik” dan menipu.
Maka, cara kita mengobati dan menghadapinya, Guru SHD menyodorkan proposal kesetiaan kepada Tuhan yang ada di relung hati. Segala langkah dilandasi ketulusan, bukan kepentingan egoistik. Keikhlasan, bukan keserakahan. Keluhuran, bukan akal bulus. Kebersamaan, bukan gotong-nyolong.
Bagaimana caranya agar membuat itu terjadi? Caranya adalah dengan hening-cipta. Sebuah metodologi agar membuat pikiran tidak dibuat liar, menghayati energi di dalam diri, di dalam nafas dan di ujung tarikan nafas ada tahta Tuhan. Karena bicara Pancasila secara kognitif, itu hanya menjadi konsep di dalam kepala, hati dan jiwa.
Hidup dengan ego, pasti melupakan Tuhan di dalam diri, maka akan sibuk berantem. Semua akan berlomba untuk mendapatkan, memiliki dan menumpuk kekayaan. Maka, kini ajarankanlah Pancasila untuk menghilangkan ego, mengikuti petunjuk Tuhan, menjadi manusia yang berkeadilan dan beradab, sehingga saling menjaga untuk selalu bersatu, lalu mengikuti kepemimpinan berdasarkan hikmat kebijaksanaan, maka keadilan sosial akan menjadi nyata bagi semua rakyat Indonesia.
Kini memang sangat susah melihat pemimpin yang memikirkan rakyat. Mereka terus menggunakan keuangan yang maha kuasa: uang segalanya. Uang menjadi Tuhan baru, membunuh semuanya. Maka, tak ada cara lain kecuali, “mari kita ciptakan keajaiban dengan menyalakan api pancasila di dalam hati, pikiran, perasaan, kata dan tindakan kita semua.” Dengan hati murni dan kejeniusan, suatu saat nanti masa gemilang akan datang. Demikian pula uang akan datang untuk membangun kembali bangsa Indonesia yang sejati seperti ada di masa purba yaitu bangsa Nusantara pada masa kerajaan Majapahit, Singosari, Kahuripan, Sriwijaya dan seterusnya. Dari kelas karakter ini kita mulai. Hikmah kita tradisikan. Semoga.(*)