Pancasila di Museum Juang 45. Foto istock
Pancasila di Museum Juang 45. Foto istock

Oleh Dody Budiatman – Peserta Program KKK Nusantara Centre

Ini pertanyaan beberapa orang. Bahkan ada yang guru besar. Maka, saya jadikan judul artikel bukan berarti tidak mengakui Pancasila sebagai dasar Negara. Tapi, sebagai warga negara yang memiliki hak kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi, saya akan menyampaikan pandangan eksistensi Pancasila sebagai dasar negara termasuk aspek legalitas.

Dasar negara seperti yang tercantum di alinea keempat Pembukaan UUD 1945 harus dipahami secara bulat dan utuh agar memberi keyakinan kepada rakyat Indonesia dalam mengemban kodratnya. Kita sadar, selain sebagai diri sendiri, kita juga mahluk sosial yang percaya bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai bila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan manusia, masyarakat, bangsa, alam, maupun dalam mengejar kemajuan  lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.

Kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, maka keselarasan dan keseimbangan tersebut akan ditentukan oleh kemampuan dan kemauaan kita dalam mengendalikan diri dan kepentingannya agar dapat melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan lima dasar negara yang dimaksud.

Namun pada kenyataanya, sejak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang (78 tahun), Pancasila dan UUD 1945 seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan pusaka warisan para pendiri negara kepada bangsa Indonesia untuk mencapai kemakmuran tetapi terus dikhianati dengan cara dilanggar dalam tiga kurun waktu; diganti oleh dua UUD dan diubah dengan empat kali amandemen.

Memang, pemerintahan Orde Baru di awal pemerintahannya menggembar-gemborkan “tatanan kehidupan bangsa Indonesia kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan kosekwen.” Tapi kenyataanya selama 32 tahun terjadi pula rangkaian pelanggaran yang satu ke pelanggaran lainnya. Tumbuh suburlah KKN sehingga dilengserkan oleh gerakan mahasiswa.

Sesungguhnya, pelanggaran, penggantian dan pengubahan UUD 1945, sama dengan kudeta konstitusi yang sering terjadi di beberapa negara Afrika dan Amerika Latin. Kudeta konstitusi bukan untuk menggulingkan pemerintahan tapi dengan rekayasa peraturan perundang-undangan untuk melanggengkan kekuasaan.

Dari uraian di atas, ada dua kemungkinan terjadinya pengkhianatan terhadap dua pusaka, (Pancasila dan UUD 1945) warisan para penyelenggara bangsa/negara dari masa ke masa sejak Indonesia merdeka yang diturunkan ke generasi berikutnya sampai sekarang. Pertama, penyelenggara negara tersebut tidak paham pemikiran para pendiri negara. Mereka tidak mau belajar, bahkan tidak mau tahu apa cita-cita dan niat pendiri republik dalam mendirikan negara.

Kedua, ketidakjelasan dasar hukum yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara, falsafah hidup, ideologi, dan pandangan hidup bangas/negara. Hal itu karena kata Pancasila tidak terdapat baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945.

Pertanyaannya, “mengapa kata Pancasila yang penting bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia tidak ada dalam UUD 1945?” Yang bisa menjawab hal ini hanya para pendiri bangsa/negara yang memahami  suasana kebatinan perdebatan pada saat merumuskan UUD 1945. Atau ada arsip notulen rapat maupun buku yang menyepakati kata Pancasila tidak perlu masuk ke dalam UUD 1945 beserta alasannya.

Tetapi, sampai saat ini pemerintah (Arsip Nasional) bergeming tidak membuka notulen rapat dimaksud. Lebih parah lagi, amandemen menghilangkan penjelasan pembukaan UUD 1945, sehingga berdampak pada penyelenggara negara yang mayoritas kelahiran setelah tahun 1965 tidak memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Apabila sekarang ada yang berpendapat tentang tidak dimasukannya Pancasila ke dalam UUD 1945, itu hanya asumsi pribadi saja. Sama halnya dengan saya pribadi berasumsi sebagai berukut: ketika Ketua BPUPK, K.R.T dr Radjiman Wedyodiningrat pada sidang BPUPK tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 bertanya, tentang apa sesungguhnya dasar negara yang akan didirikan nanti.

Dalam pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, antara lain menyampaikan Nasionaslisme atau Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Bertaqwa Kepada TuhanYang Maha Esa sebagai dasar negara.

Setelah menyampaikan lima prinsip dasar tersebut, Bung Karno lalu menyampaikan bahwa dirinya senang dengan simbolik angka. Maka, kelima dasar negara itu dinamakan Pancasila bukan Pancadarma. Mulai tanggal 1 Juni 1945 istilah Pancasila muncul dalam sistim ketatanegaraan Indonesia. Lalu, Presiden Joko Widodo melalui Kepres No. 24 Tahun 2016 menetapkan bahwa setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.

Namun demikian, para pendiri negara yang tergabung dalam Panitia Sembilan yang diketuai oleh Bung Karno sendiri tidak menyepakati kata Pancasila dimasukan dalam UUD 1945. Tetapi, lima dasar yang disampaikan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, setelah melalui perubahan sistimatika dan perubahan kalimat, substansinya sama sebagai dasar negara yang disepakati untuk dimasukan ke dalam UUD 1945.

Maka, asumsi saya bahwa tidak dimasukannya Pancasila ke dalam UUD 1945, karena kata “Pancasila” sesuai pidato Bung Karno hanya simbolik dari angka lima. Sedangakan yang harus diamalkan dan dipraktekan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu dasar negara yang tercantum dalam alanea keempat Pembukaan  UUD 1945.

Untuk melegitimasi Pancasila sebagai dasar negara dalam ketatanegaraan Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam sidang umum tahun 1998 telah mengeluarkan Ketetapan MPR No XVIII Tahun 1998 tentang Pencabutan Tap MPR No II Tahun 1978 tentang  P4 (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Namun dalam sidang umum MPR tahun 2003, Ketetapan MPR tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi setelah keluarnya Ketetapan MPR No 1 Tahun 2003 Tentang, Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR/MPRS RI Tahun 1960 sampai dengan 2002.

Dengan demikian, Pancasila yang selama ini didengung-dengungkan sebagai dasar negara, baik secara lisan maupun tertulis seperti yang termuat dalam setiap pembuatan peraturan perundang-undangan, tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Sangat ironis, Pancasila sebagai dasar negara tetapi tidak memiliki dasar hukum. Ini PR besar kita semua. Dalam program KKK mestinya itu dibahas dan disepakati resolusi untuk disampaikan ke elite nasional agar dicari solusinya bersama.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here