Pengingkaran terhadao dua pusaka wairsan para pendiri bangsa. Foto Instagram @mwv.mystic
Pengingkaran terhadao dua pusaka wairsan para pendiri bangsa. Foto Instagram @mwv.mystic

Oleh Dody Budiatman – Peserta Program KKK Nusantara Centre

Warisan. Itulah problem kita. Warisan yang telah kita ganti. Kita lupakan. Bahkan kita buang. Padahal, para pendiri negara telah bersepakat untuk mewariskan dua pusaka yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dua warisan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yaitu masyarakat adil dan makmur. Kesepakatan tersebut merupakan fondasi tempat berpijak seluruh komponen bangsa untuk berdiri tegak sebagai Bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai ideologi yang digali para pendiri negara dari akar budaya bangsa, berupa  pandangan hidup bangsa dan falsafah negara yang merupakan seperangkat tata nilai yang dicita-citakan, diyakini kebenarannya, dan perlu direalisasikan. Pancasila sebagai sumber kekuatan dalam kesatuan yang membentuk struktur dan sistimatika  nilai-nilai luhur dalam suatu kesatuan sebagai philoshopische-grondslag bangsa dan negara kita.

Pancasila di dalam jiwanya yang berketuhanan yang maha esa, akan membimbing nilai moral agama dan kepercayaan masing-masing dalam  kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang terwadahi dalam suatu negara bangsaa (nation state).

Pancasilan berperan memberikan stabilitasi dan berfungsi sebagai bintang pemandu arah dalam mencapai cita-cita negara dan bangsa yang selanjutanya dijabarkan ke dalam kebijakan, strategi, dan prorgram  dalam berbagai  kegiatan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan, sehingga dapat dijadikan pedoman tata kelola pemerintahan dalam menyusun peraturan perundang-undangan dan GBHN (garis-garis besar haluan Negara).

Berdasarkan budaya politik Pancasila, para pendiri bangsa telah merumuskan Sistem Demokrasi Pancasila (SDP) yang dimulai dari rumusan visi negara, pernyataan tentang hak warga negara, tujuan politis dan dasar negara dengan mengambil nilai-nilai Pancasila yang berkembang dari paham kekeluargaan yang dianut oleh berbagai suku yang tersebar di Nusantara.

Selanjutnya konsepsi SDP, oleh para pendiri negara dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Para pendiri negara dalam menyusun  UUD 1945, menganut konsepsi kedaulatan (sovereignty) yang menekankan perlunya negara memiliki rumusan “kedaulatan tertinggi” sebagai ekspresi dari kekuatan rakyat yang sesuai dengan pahan kekeluargaan.

Profesor Supomo telah merumuskan bahwa, “negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan, oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakialan yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”(Setneg RI, 1995; 266, 268).

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya mengandung keyakinan religius, keyakinan filsafati, pernyataan historis dan amanat dari bangsa dan negara. Pada alinea kesatu sampai dengan ketiga, para pendiri negara menyampaikan pernyataan, cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada alinea keempat menyampaikan roh dari keseluruhan semangat tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itulah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak boleh diubah oleh siapapun.

Dalam perjalanan sejarah bangsa dari sejak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai dengan sekarang sudah 78 tahun, dua pusaka warisan peninggalan para pendiri bangsa, ternyata belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Sebaliknya sering diingkari/dihianati atau istilah saat ini yaitu kudeta konstitusi. Yaitu dengan cara dilanggar, diganti dan diubah, yang berdampak pada rakyat yang menjadi korban. Lebih parah lagi pengikaran/penghianatan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun.

UUD 1945 dilangar pertama kali ketika dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tahun 1945, yang merubah kabinet dari sistem presidensial menjadi parlementer dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang tidak diatur dalam UUD 1945. Pelanggaran kedua terjadi setelah Dekrit Presiden tahun 1959, yang menganggkat Presiden Sukarno sebagai Presiden seumur hidup, yang melanggar pasal 7 UUD 1945.

Pelanggaran yang ketiga terjadi pada era pemerintahan Orde Baru tahun 1967-1998 yang banyak melanggar Hak Asasi Manusia. Mereka juga melaksanakan perekonomiaan tidak disusun sebagai usaha bersama, tetapi lebih mengutamakan pada Penanaman Modal Asing (PMA) daripada usaha bersama melalui koperasi. Ini pelanggaran  pasal 27, 28 dan 33 UUD 1945. Penginkaran/penghianatan dilakukan juga dengan digantinya UUD 1945 menjadi kunstitusi RIS tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara  tahun 1949-1959. Sedangkan pengingkaran berikutnya dilakukan dengan cara diubahnya UUD 1945 melalui amandemen pada era reformasi tahun 2002.

Perubahan UUD 1945 paling krusial setelah empat kali amandemen terjadi pada pasal 1 ayat (2) yang diubah menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, serta dihilangkannya Penjelasan dalam sistimatika UUD 1945. Berubahnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi Negara sehingga MPR bukan lagi sebagai penjelmaan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat yang menyandang konsep tradisional gotong-royong yang berakar dari paham kekeluargaan.

Lalu, arah dan haluan pembangunan nasional tidak lagi mengacu kepada GBHN, tetapi hanya ditetapkan oleh Presiden atas dasar visi Presiden dengan persetujuan DPR yang disahkan melalui undang-undang. Akhirnya, pembangunan nasional dilaksanakan tanpa arah dan haluan  yang diputuskan oleh seluruh rakyat melalui MPR sesuai dengan ciri pokok Sistem Demokrasi Pancasila.

Begitu pula MPR sebagai locus of sovreignty, pemegang kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif, menjadi terlepas. Kekuasaan eksekutif menjadi melekat langsung pada Presiden, legislatif pada DPR dan yudikatif pada MA. Dengan demikian ketatanegaraan Indonesian telah menerapkan ajaran trias politika ala Montesquieu sepenuhnya.

Padahal para pendiri negara telah memberikan pertimbangan filosofis berdasarkan kajian empiris bahwa sistem pembagian kekuasaan model trias politika bukan sistem yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat yang berpaham kekeluargaan.

Dampak dari perubahan tersebut, muncul berbagai tafsir terhadap pelaksana kedaulatan rakyat. Setiap lembaga merasa punya hak untuk melaksanakan kedaulatan rakyat asal berdasarkan UUD. Hal ini menyebabkan terjadi distorsi terhadap kewibawaan dan kekuasaan presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.

Misalnya pengangkatan dalam jabatan untuk posisi tertentu di pemerintahan atau untuk urusan yang terkait dengan hak prerogaratif presiden harus melalui persetujuan atau mendengar pertimbangan dari lembaga lain.

Bahkan ada kelompok masyarakat yang mengklaim sebagai kelompok mayoritas, mengambil beberapa penggalan kalimat dalam UUD 1945 yaitu, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, alenia ketiga Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa, lalu ditafsirkan Indonesia harus dipimpin oleh umat Islam dengan menegakkan dan menerapkan Syariat Islam karena mayoritas penduduknya beragama Islam dan kemerdekaan Republik Indonesia diperjuangkan oleh umat Islam.

Terjadinya distorsi kekuasaan dan kewibawaan presiden tersebut, mengakibatkan seperti tidak berdaya oleh tekanan kelompok yang merasa berkuasa dan menguasai Negara. Ada pula kelompok pejabat negara/pemerintah yang merasa berkuasa, saat Presiden memberi arahan kerja, kerja, kerja, lalu dijawab dengan maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Banyak arahan Presiden yang tidak ditaati, tetapi tidak bisa berbuat banyak ketika disebut sebagai petugas partai; Presiden membiarkan saja ketika ada pembantunya yang melakukan tindakan upaya pengambil alihan partai politik; yang baru terjadi adalah tindakan kepala daerah yang mengintervensi proses persiapan Piala Dunia U-20 yang bermuara pada batalnya piala dunia U-20 diselenggarakan di Indonesia.

Selain itu ada juga kelompok berduit yang merasa berkuasa, dengan kemampuan finansial telah merusak mental para penyelenggara negara di lingkumgan eksekutif, legeslatif dan yudikatif.

Berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyelenggara negara yang disasar adalah, pengadaan barang dan jasa, perijinan, pengawasan, penegakan hukum, pajak, cukai, pengangangkatan dalam jabatan, dan penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri.

Kita tahu, rapuhnya mental dan karakter para penyelenggara negara dari godaan duniawi  dengan melakukan banyak kecurangan, KKN serta bergaya hedon telah menimbulkan kesenjangan sosial. Padahal, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin yang melebar dan dalam berpotensi menimbulkan acaman dan gangguan kepada ketahanan nasional.

Dinamika kebangsaan setelah amandemen UUD 1945, telah menimbulkan kebebasan yang sangat luas dan longgar. Akibatnya keretakan hubungan sosial masyarakat cenderung akan terjadinya konflik sosial yang disebabkan polarisasi politik dan tumbuh kembali sentimen SARA.

Masyarakat terbelah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang punya kemampuan dan kesempatan mengakases sumber daya dari negara, oleh lawannya dinamakan kelompok oligarhi, sedangkan kelompok yang tidak dapat kesempatan dan tidak mampu mengakses sumber daya dari negara dinamakan kelompok identitas, yang kemudian menjadi kelompok anti dan penenentang pemerintah.

Permasalahan di era reformasi setelah amandemen UUD 1945 seperti disebutkan di atas, tidak terlepas dari dihilangkannya penjelasan UUD 1945. Akibatnya bangsa Indonesia khususnya para penyelenggara negara yang mayoritas dilahirkan setelah tahun 1965 tidak memahami maksud dan tujuan para pendiri bangsa. Yaaitu sistem ketatanegaraan Demokrasi Pancasila itu mengandung ciri “hikmah kebijaksanaan.”

Padahal, Yamin telah mengingatkan bahwa, “cita hikmat kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis sebagai demokrasi yang didasarkan kepada nilai Ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan. Hal ini sejalan dengan pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Di bawah orientasi etis “hikmah kebijaksanaan” sistem ketatanegaraan Demokrasi Pancasila ialah negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh kerena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Tidak fahamnya para penyelenggara negara terhadap sistem ketatanegaraan Demokrasi Pacasila, telah meninabobokan mereka dengan terus menerus melakukan kecurangan/penyimpangan berjamaah berupa KKN yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Akhirnya, kehidupan dalam bermasyarakat, berbangasa dan bernegara memperlihatkan telah terjadi anomie. Yaitu masyarakat yang samar polah, merasa hidup di lingkungan yang tidak terikat oleh norma hukum. Itu tercermin dalam berlalulintas di jalan raya. Banyak pula peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh penyelenggara negara yang menimbulkan kegaduhan dan rasa ketidakadilan di masyarakat.

Berdasarkan pengalaman sejarah bangsa Indonesia seperti yang diuraikan di atas dapat disimpulkan sementara yaitu, “selama dua pusaka warisan para pendiri bangsa/negara (Pancasila dan UUD 1945) tidak difahami dan selalu diingkari/dikhianati maka bangsa Indonesia tidak akan dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.(*)

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here