Oleh Louise Widjaja – Peserta Program KKK Nusantara Centre
Kami adalah generasi baru. Kami arus baru dalam realisasi pancasila. Kami punya cara menghayati pancasila yang bersih, suci dan agung. Tidak sekedar doktrin dan tanpa penghayatan, apalgi teladan. Tapi, sebelum memulai tulisan mengenai Pancasila yang nanti panjang lebar, saya coba mereview dulu pengertian Pancasila yang didapatkan sejak kecil.
Perkenalan penulis akan Pancasila, seingat saya dimulai sejak bayi, lagu yang dikumandangkan TVRI setiap jam 8 malam. Yaitu lagu berjudul “Garuda Pancasila.” Lirik lagu tersebut adalah, “Garuda pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot proklamasi/Sedia berkorban untukmu/Pancasila dasar Negara/Rakyat adil makmur sentosa/Pribadi bangsaku/Ayo maju maju/Ayo maju maju/Ayo maju maju/Garuda Pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot proklamasi/Sedia berkorban untukmu/Pancasila dasar Negara/Rakyat adil makmur sentosa/Pribadi bangsaku/Ayo maju maju/Ayo maju maju/Ayo maju maju.
Dalam lirik lagu ini jelas sekali bahwa pancasila adalah dasar negara. Pusaka yang akan membuat rakyat adil makmur sentosa. Bukan main, bukan main-main. Ini jelas sekali. Pesannya jelas: jadilah patriot yang sedia berkorban. Mama selalu cerita, tiap kali ada lagu Pancasila, saya selalu jingkrak-jingkrak kesenangan dari box bayi. Mungkin karena pengauh lagu yang bersemangat itu.
Masuk sekolah dasar, mulailah dijejali dengan teori Pancasila. Tidak cukup dengan menghafalkan 5 sila Pancasila, juga ditambah dengan butir-butir penjelasan Pancasila (lewat P4). Lalu, ada juga yang namanya PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, dan ada penataran wajib bagi siswa sekolah formal. Pertanyaanya, “apa yang saya dapatkan dari pendidikan pancasila di sekolah dan apa hubungannya dengan perilaku sehari-hari? Tidak ada sama sekali.
Dilahirkan dan tumbuh di keluarga WNI keturunan (orang tua saya malah sempat harus buat SBKRI), saya dididik orang tua untuk menjauhi politik. Kata mereka, “sebaiknya diam saja yang penting selamat; sekolah yang benar supaya nilai bagus dan mendapat pekerjaan yang baik.” Jadi ya begitulah, korelasi antara pelajaran di sekolah soal Pancasila sebagai simbol negara dan keseharian saya adalah nol.
Setelah mulai kerja, bisa menafkahi diri sendiri, mulailah ada keinginan untuk memperbaiki diri dan mencari kebahagiaan. Saat mulai fase pencarian jati diri di sini, saya dengan semesta dipertemukan dengan Mas Guru SHD. Beliau mengajarkan hening. Hal yang menjawab semua yang saya cari.
Darinya saya jadi tahu bahwa “Pancasila bukan hanya dasar negara dan ideologi bangsa. Ia adalah jalan spiritual bagi bangsa Indonesia untuk merealisasikan rancangan agungNya yang tertera di dalam DNA kita. Inilah jalan untuk membangkitkan keagungan bangsa Nusantara yang lama terpendam.” Keren bukan hipotesanya? Dari tesis ini berkembanglah saya menjadi seperti yang sekarang; makin pluralis dan tulus untuk bahagia sepanjang usia.
Dengan hening cipta kita dapat merealisasikan tujuan hidup kita, juga dalam perilaku sehari-hari. Menyalakan api Pancasila di dalam diri seterusnya. Inilah yang ingin saya pelajari dan saya terapkan dalam kehidupan bermakna. Segala pengetahuan cognitive yang saya dapat di sekolah bukannya tidak berguna, hanya ada mata rantai yang hilang, yaitu hening cipta.
Berbekal dengan bimbingan dari Mas SHD dalam ajaran keheningan, saya pun ingin memperkuat pemahaman Pancasila dari sudut pandang yang baru. Sebagai manusia Indonesia yang harus berkarakter Pancasila, yang penuh dengan kebahagiaan, kasih murni dan spirit humanisme yang universal. Kesadaran itu pula yang membuat saya bergabung dengan teman-teman di rogram ini. Terima kasih telah diberi kesempatan mengikuti kelas ini. Kelas penuh tawa dan menambah wawasan dan mempraktekkan mental dan karakter konstitusi di masa kini dan masa depan.
Semoga cita-cita kami menyalakan api pancasila direstui semesta, didukung alam raya, menjadi amal tak putus di mana saja. Ayok kita buktikan segera.(*)