Oleh Yudhie Haryono – Presidium Forum Negarawan
Jendralku, jendral serdadu dan jendral kita. Apa kabarmu? Kami datang saat Indonesia warisanmu mengalami mentalitas defisit sentrifugal, surplus sentripetal.
50 tahun terakhir kita memang mengalami gerak minimalis: tidak bebas dan tidak aktif dalam geoekopol dunia. Kita seperti tak punya pemimpin yang melihat “luar” sebagai daerah untuk “didominasi” dan disebut they part of us. Mungkin karena defisit ide itulah sehingga outward looking menjadi absen dan tak hadir dalam “strategi kebudayaan negara kita.”
Budayawan jenius Indonesia, Taufik Rahzen (2023) menyebut bahwa, “kita sudah lama menikmati drama perkontestasian sengit antara dharma agama (kebenaran) melawan dharma negara (kekuasaan). Orang berbuat demi nilai-nilai langit melawan orang berbuat karena nilai-nilai bumi. Dan, sekali waktu kita berhasil mensintesakannya menjadi dharmawangsa, seperti Pancasila.
Dengan modal utama sejarah itu menunjukkan bahwa kita terbukti sebagai komunitas yang kuat sekali daya tahannya untuk hidup. Survival of crisis kita kuat walau hidup di pertemuan banyak arus, banyak agama, banyak suku, ras dan bahasa serta banyak sekali bencana alam.
Tapi dengan kondisi itu, mentalitas ke dalam menjadi keseharian. Kita sibuk dan super ruwet untuk mengatasi keadaan internal sehingga tak sempat menengok ke eksternal. Kita berhabit ria dalam inward looking, lupa outward looking; sibuk menggaruk koreng di selangkangan sendiri.
Maka, selama 9 tahun terakhir menjalankan pembangunan infrastruktur, kita hanya mencapai kemajuan sebatas fisik, raga, badan dan remeh temeh. Pembangunan tidak menyentuh jiwa, paradigma, mindset, atau budaya ekopol dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya.
Padahal, kehancuran akal pikiran dan lemah jiwa merupakan bencana alam yang paling besar bagi bangsa. Akibatnya, karakter dan mental bangsa menjadi lemah, impoten dan tak punya daya progres dan inovatif. Dengan posisi ini, imperialisme baru pasti dengan mudah menancapkan kembali kukunya di bumi pertiwi.
Maka, engkau pernah berkata, “mental melawan (jihad) dan setia serta idealis harus dimulai dari diri sendiri, lingkungan keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja, kemudian meluas ke lingkungan negara. Untuk itu, mentalitas jihad ini harus menjadi kurikulum nasional.” Sayangnya kini yang tumbuh jumbuh adalah karakter menjilat, oportunis dan anti kritik.
Engkau memilih berperang gerilya dan keluar masuk hutan untuk melawan pasukan penjajah meskipun kondisi saat itu sedang tidak sehat. Tetapi, kini kita saksikan pemimpin Indonesia minta disuap dan ditawan tanpa punya niat melawan terhadap agresor baru dalam perang dagang.
Engkau praktik dan ajarkan perang gerilya yang dilakukan secara sembunyi sembunyi, zig-zag, penuh kecepatan, sabotase, dengan kelompok kecil tapi sangat fokus dan efektif, inteljen dan banyak akal. Sebab lawan kita memang lebih segalanya dan licik. Tetapi, kini kita tak lihat lagi strategi perang dagang dan perang kebudayaan yang dipraktekkan demi tegaknya kedaulaulatan negara dan warganya.
Ya. Taktik perang gerilya memang lahir dari kejeniusan dan keikhlasan. Ini merupakan taktik peperangan yang dilakukan dengan cara mengelabui, menipu, dan menyerang secara tiba-tiba dengan kecepatan kilat lalu kemudian menghilang tanpa sempat dibalas oleh musuh. Taktik ini sangat cocok ketika lawan dalam jumlah banyak dan tidak menguasi medan.
Di atas pusaramu dan terus membaca warisan perbuatanmu, kami yakin engkau tidak mengalami megalomania dan narsistik walau semesta menguji dengan bintang dan komando, kemenangan dan nama besar.
Ya. Megalomania (delusions of grandeur) adalah penyakit mental yang membuat seseorang haus kekuasaan. Tentu ini gangguan mental yang serius. Sebab, ia tidak dapat membedakan antara apa yang nyata dan tidak; ia menganggap dirinya memiliki wahyu, kekuasaan, kecerdasan, dan kekayaan yang (senyatanya) tidak sesuai dengan keadaannya.
Ya. Narsistik adalah gangguan kepribadian di mana ia menganggap dirinya sangat penting dan harus dikagumi plus diikuti. Pengidap gangguan ini selalu merasa dirinya lebih baik dibandingkan dengan orang lain. Ia bangga mengatur segalanya tanpa mendengar saran waras dari sekitarnya. Akal dan nalarnya dikendalikan ego dan hawa nafsunya.
Engkau jendral, lulus uji sehingga sangat layak diteladani. Semoga surat ini jalan berkah.(*)