Oleh Yudhie Haryono – Rektor Universitas Nusantara
“Memimpin itu menderita,” katamu berulang kali ditulis dan disampaikan pada orang-orang Indonesia. Dan, aku membacanya kembali di ujung tahun, di tengah malam saat hujan mulai jatuh menggagahi bumi. Menelisik kembali warisanmu itu membuka cakrawalaku bahwa “kepemimpinan nasional kita” makin hari makin sakit jiwa.
Ya. Betapa giris kita memasuki masa tua dan pensiun tetapi menikmati sikon ekopol kita yang isinya caci maki, nepotik, amoral, prank, asosial, dinastik, minus visi besar pengorbanan. Yang ada tinggal uangisme, koncoisme dan gotong-nyolong. Begitulah kekinian kita. Tak kurang. Tak lebih.
Dari sejarah, aku tahu bahwa peran pentingmu dalam perumusan Pancasila adalah menolak Piagam Jakarta yang mengandung kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sebagai bagian dari sila pertama. Bersama Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno, engkau memberikan kontribusi penting dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara sekaligus ideologi negara Indonesia. Bagimu, kewajiban dalam beragama itu inherent dalam ketuhanan. Titik. Tanpa perlu ajektif.
Tetapi kini, warisanmu telah dimasukkan ke tong sampah. Diganti dengan konstitusi baru bernama UUD 2002 sehingga Indonesia berubah dari negara berdasar hukum menjadi negara berdasar kekuasaan, dari negara kebangsaan menjadi negara korporasi. Daulat rakyat berubah menjadi daulat parpol dan majelis permusyawaratan rakyat menjadi majelis permusyawaratan oligark. Struktur tata negaranya menyembah uang. Titik.
Lalu, di mana rakyat (miskin, bodoh dan cacat) berada? Mereka yang engkau bela sepanjang hayat ternyata kini ada di kisah-kisah paria dan kalah. Indonesia kini sedang menikmati bersama zaman keadilan asosial telanjang di muka umum. Tak ada semeterpun kewarasan publik dan kepancasilaan elite. Kalasuba.
Maka, kepada mereka yang dikalahkan penjajah, mari duduk bersamaku. Kita cerita dulu pahit getirnya dihina hanya karena miskin, bodoh dan cacat. Menjadi korban itu tidak mudah. Kita dipandang sebelah mata, dianggap tidak layak diperjuangkan. Karena itu kita harus berbaris. Membentuk pasukan perlawanan. Seperti para pendiri republik. Sisihkan ego dan sok hebat sendiri.
Mengapa begitu? Sebab, dalam logika the end of history and the last modern state, kita masuk di era penjajahan bangsa sendiri. Ini berat dan tidak tak terpikirkan. Terlebih, para penjajah bangsa sendiri ini seperti makhluk halus, bisa berubah wujud sesuai kepentingannya, ada yang berbentuk pengurus parpol, artis, bisnisman, atlet, tentara bahkan tokoh agama plus dukun-dukun.
Dus, belajar dari Agus Salim adalah belajar berdiplomasi tanpa kehilangan idealitas. Melawan dengan sedalam samudra dan sekuat halilintar. Mengapa? Sebab, ia pejuang kemerdekaan Indonesia yang terkenal dalam sebuah organisasi bernama Sarekat Islam yang tangguh bin teguh. Ialah pahlawan nasional kita yang ulet dan pantang kalah.
Laki-laki yang lahir 8 Oktober 1884 ini menempuh pendidikan di sekolah khusus anak-anak Eropa di Europeesche Lagere School (ELS) yang kemudian berlanjut di Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Beliau juga berperan sebagai salah satu anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan Pancasila dan UUD 1945. Karena kepiawaiannya dalam hubungan internasional, beliau dipercaya sebagai menteri muda luar negeri kabinet Sjahrir II dan III, serta menjabat sebagai menteri luar negeri pada kabinet Amir Sjarifuddin dan Hatta.
Pada 1953, ia menulis buku berjudul “Keterangan Filsafat Tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal.” Buku ini menjelaskan posisi pemikirannya yang khas: usaha manusia lebih utama dari segalanya. Untuk menang, kita harus terus bekerja dan berdoa di segala cuaca. Tentu saja.
Sebab, ia merupakan intelektual yang humoris dan seorang humoris yang intelek; fasih berbicara dalam sembilan bahasa asing; kritikus yang santai, guru sekaligus mentor yang menyenangkan; pribadi ramah dan menggugah plus membimbing. Ketika berdiskusi, ia selalu menyerahkan kesimpulannya kepada masing-masing lawan bicaranya. Perspektifnya lebar dan dalam.
Sebagai salah satu tokoh Minang yang dahsyat, hal itu karena tradisi dan budaya merantau yang telah melembaga dalam kehidupannya. Tsuyoshi Kato (1999) dalam artikelnya mencatat bahwa, dari 8 juta orang Minang, separuh berada di perantauan. Ukuran tersebut telah menjadikan etnis Minang (bersama Madura) sebagai masyarakat perantau terbesar di Nusantara.
Mereka sering dinyatakan sebagai manusia yang kaki-tangannya tak pernah tinggal diam, senantiasa aktif berpindah serta menemukan wilayah-wilayah baru. Masyarakat Minang telah merantau sejak ratusan tahun lalu. Dari luhak nan tigo, mereka bermigrasi ke pesisir barat dan timur Sumatra lalu berdiaspora menguasai dunianya.
Yah. Pada 4 November 1954, Agus Salim meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 27 Desember 1961 melalui Keppres Nomor 657 tahun 1961. Mari teladani. Siapa tahu sisa umur kita tak menggiriskan karena ada perbaikan.(*)