Oleh Riskal Arief, S.Sos – Peneliti Nusantara Centre
Intervensi dalam definisi bisa diartikan sebagai tindakan campur tangan yang dilakukan oleh pihak tertentu dalam suatu proses, situasi, atau urusan, dengan tujuan untuk mengubah hasil atau mempengaruhi jalannya proses tersebut. Definisi ini sering digunakan dalam berbagai konteks, termasuk politik, ekonomi, dan sosial, di mana campur tangan pihak ketiga diharapkan dapat memberikan perubahan signifikan terhadap kondisi yang ada (Smith, 2019).
Intervensi dapat berbentuk berbagai macam tindakan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Bentuk-bentuk intervensi ini seperti diplomasi, tekanan ekonomi, tindakan militer, bantuan kemanusiaan, hingga penyebaran informasi (propaganda). Dalam bidang ekonomi misalnya, intervensi mungkin berbentuk pengenaan sanksi ekonomi terhadap negara yang dianggap melanggar norma internasional (Miller, 2020).
Dalam ranah politik, intervensi sering kali terkait dengan upaya suatu negara untuk mempengaruhi kebijakan atau proses politik di negara lain. Intervensi asing dalam politik dapat terjadi melalui berbagai cara, termasuk pendanaan kampanye politik, penyebaran propaganda, dukungan terhadap kelompok oposisi, atau bahkan invasi militer (Anderson, 2022).
Intervensi politik tidak melulu berasal dari satu negara, tetapi juga lembaga internasional. Intervensi legislasi merupakan salah satu contoh bagaimana lembaga internasional dapat memengaruhi kebijakan suatu negara. Intervensi legislatif terjadi ketika undang-undang atau peraturan dibuat atau dimodifikasi untuk mencapai tujuan tertentu, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Dalam konteks Indonesia, contoh intervensi asing dalam bentuk legislasi adalah pengaruh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) saat Indonesia mengalami krisis ekonomi di tahun 1998. Bank Dunia dan IMF datang dengan bantuan bersyarat, seperti privatisasi BUMN dan penghapusan subsidi BBM.
Menurut Habibie (2000), intervensi ini secara signifikan mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia selama periode tersebut, dan beberapa kebijakan yang diadopsi bahkan bertentangan dengan prioritas nasional pada waktu itu.
Intervensi asing tidak berhenti saat Indonesia krisis. Salah satu bentuk intervensi asing yang dampaknya masih terasa adalah deindustrialisasi rokok dan tembakau. Deindustrialisasi rokok dan tembakau di Indonesia terjadi akibat tekanan rezim kesehatan internasional. Bentuknya adalah kebijakan kenaikan cukai, pelarangan iklan rokok, dan pembatasan ruang untuk merokok (Nugroho, 2021).
Adalah FCTC, yaitu Framework Convention on Tobacco Control (Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau) yang menjadi awal intervensi asing masuk ke Indonesia dan memulai gerakan deindustrialisasi rokok dan tembakau nasional. FCTC merupakan perjanjian internasional untuk membatasi produksi dan distribusi tembakau dengan alasan kesehatan.
Kegiatan FCTC berisi kampanye anti-rokok yang dibiayai oleh rezim kesehatan internasional, yang terdiri dari pelaku usaha di bidang kesehatan dan farmasi (Big Pharmacies). Salah satu target pentingnya adalah penjualan berbagai produk pengganti nikotin (Nicotine Replacement Theraphy-NRT) secara massal. Di Indonesia, kampanye anti-rokok ini melibatkan LSM, ormas, organisasi profesi, dan didanai oleh Yayasan Bloomberg (Daeng, 2011).
Meskipun Indonesia masih belum meratifikasi FCTC, namun berbagai kebijakan pemerintah pusat (PERPU) dan daerah (PERDA) telah mengadopsi substansi pasal-pasal FCTC seperti kenaikan cukai, kampanye larangan merokok, larangan iklan rokok, dan kawasan tanpa rokok di berbagai daerah. Dampak dari kebijakan ini telah ditulis oleh Kompas.com “Sejak 2008, Sudah 3.956 Pabrik Rokok Gulung Tikar”. Bayangkan berapa banyak karyawan yang kehilangan pekerjaannya.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2020), pendapatan dari cukai rokok menyumbang lebih dari Rp170 triliun pada tahun 2019. Ini berarti sekitar 10% dari total pendapatan negara disumbang dari rokok. Ini jumlah yang luar biasa besar. Kampanye anti-rokok yang efektif, seperti peningkatan cukai, pengurangan iklan, dan pembatasan ruang merokok, akan menyebabkan penurunan konsumsi rokok, yang pada gilirannya mengurangi pendapatan negara dari cukai.
Menurut Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), setiap penurunan 1% dalam konsumsi rokok dapat mengakibatkan kerugian cukai sekitar Rp1,7 triliun (CITA, 2021). Selain itu, penurunan produksi rokok akan berdampak pada sektor tenaga kerja, mengingat industri ini mempekerjakan jutaan orang, mulai dari petani tembakau hingga pekerja pabrik.
Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF) juga memperkirakan bahwa pengurangan 10% dalam produksi rokok dapat menyebabkan hilangnya sekitar 50.000 lapangan pekerjaan langsung di sektor manufaktur rokok (INDEF, 2020). Intervensi ini bukanlah semata karena masalah kesehatan, tetapi juga perang ekonomi. Bagaimana pemerintah menyikapi potensi hilangnya puluhan ribu lapangan pekerjaan dan ratusan trilyun pendapatan negara? Sudah seharusnya kedaulatan negara dan kestabilan ekonomi menjadi prioritas.(*)