Oleh: Umar Al-Faruq (Mahasiswa Biasa)

Hariansemarang.id – “Kematian adalah kehidupan dalam ketertindasan, sedangkan kehidupan adalah melawan penindasan walau harus mati”. Demikianlah sepenggal kalimat yang pernah di lontarkan oleh sosok agung, Sayyidina Ali. Kalimat ini membawa kita pada sebuah kesadaran bahwa kesejatian hidup bisa di temukan dengan cara melawan, sebab selimut penindasan ialah hal yang tidak pernah lekang dari kehidupan umat manusia bahkan hingga dunia berakhir.

Beberapa hari belakangan sedang ramai unjuk rasa di berbagai kota yang ada di Indonesia, dikarenakan satu keluarga culas yang kerongkongannya tidak pernah basah oleh kepuasan akan kekuasaan. Keluarga tersebut terus memaksakan kehendaknya, andaipun harus menekuk-nekuk aturan sedemikian rupa. Begal konstitusi ini, ingin membangun negeri rasa kerajaan dengan terus mewariskan kekuasaan kepada keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Sebetulnya hal ini sudah lama menjadi kecemasan pada banyak kepala rakyat Indonesia, hanya saja respon kolosal baru terjadi akhir-akhir ini. Entah karena baru disadari, atau memang kemarahannya baru terakumulasi. Yang jelas kemarahan publik memang tidak bisa dihindari.

Kesadaran akan kebengisan kepala negara dan keluarganya menjadi efek domino, yang menular dari satu kepala warga negara ke kepala warga negara lainnya. Gelombang protespun terus bergulir dari satu kota ke kota lainnya. Kesatria tanpa kuda datang satu persatu dari tempat persembunyiannya masing-masing, kost, rumah, kontrakan, kampus, sekolah, bahkan pabrik sekalipun. Membentuk lautan manusia dengan indahnya. Mereka datang dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, tanpa di perintah dan tanpa di bayar. Mereka datang dengan urat leher yang tegang, bukti kemarahan yang tak terbendung. Senjata mereka adalah keberanian dan harapan.

Mereka siap bersaksi dihadapan mahkamah sejarah, bahwa kesewenang-wenangan pemimpin negeri ini sudah akut dan tak tertolong lagi. Namun, persaksian ini bukanlah bersaksian gratis. Persaksian ini adalah persaksian yang harus siap di bayar dengan resiko. Mulai dari harta, tenaga, sampai nyawa.

Tetapi ada satu resiko yang menarik untuk dikuliti, biarpun dengan sederhana. Resiko ini ialah, selalu ada orang yang mencibir para peserta aksi demonstrasi. Saya tak habis fikir, bagaimana bisa orang yang berjuang tanpa di perintah, tanpa di bayar, bahkan siap menanggung resiko besar di cibir dengan begitu beringasnya. Di tuduh bayaran, di anggap menebar kebencian, dianggap perusuh, dan lain sebagainya.

Tanpa memperhatikan pengecualian-pengecualian yang ada – seperti oknum perusak fasilitas – bagi saya mencibir peserta aksi demonstrasi merupakan sikap seorang pengecut. Mereka tak paham bagaimana cara hidup berdemokrasi, gagap dalam menangkap sinyal-sinyal penindasan, dan acuh akan kehidupan banyak orang. Orang-orang seperti ini saya rasa, akan merasa tenang jika hidupnya sudah aman, biarpun hidup orang-orang di sekitarnya terancam. Saya takut juga orang-orang seperti ini hanya berkerja untuk makan, dan makan hanya untuk bekerja, sehingga diluar dari dua hal itu, tidak terlalu di anggap penting.

Ada klasifikasi manusia berdasarkan kesadaran intelektualnya, pertama ia yang pintar tapi merasa bodoh, kedua ia yang bodoh dan merasa bodoh, dan yang terakhir ia yang bodoh tapi merasa pintar. Nah, pencibir demonstran merupakan jenis manusia yang masuk kedalam klasifikasi ketiga. Mereka merasa bahwa demonstrasi adalah aksi kedunguan, sehingga mencibir orang-orang dungu adalah sebuah kebijaksanaan. Padahal kedunguan itu justru bersarang kuat di otak mereka. Mereka tidak sadar bahwa seluruh nasib hidup mereka di pengaruhi oleh keputusan politik, harga sabun, harga sembako, harga BBM, presentase pajak, sampai hidup atau matinya masyarakat tidak jarang dipengaruhi keputusan politik.

Buta politik adalah buta terkronis. Dan ketika ada sekelompok orang yang melek sosial-politik, justru diseberang sana ada orang-orang yang dengan tega mencibirnya. Minimal kalau tidak terlibat dalam perjuangan, tidaklah usah mencibir, terlihat sekali jiwa pengecutnya. Mereka pikir mereka bijak, mereka pikir mereka pintar, mereka pikir demonstran itu goblok. Percayalah manusia seperti ini (jika tanpa perubahan) hanya akan menjadi bangkai yang ditinggalkan dan di lupakan oleh sejarah.

Cek berita dan artikel Harian Semarang lainnya di Google News