Makam Mbah Brojo Seti Singo Barong pendiri Desa Dukuhseti

Dukuhseti, Harianjateng.com – Bagi orang Pantura Timur atau eks Karesidenan Pati, meliputi Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang, dulu mengenal Desa Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti, Pati sebagai kota preman dan seks. Namun stigma buruk tersebut saat ini lambat laun kian surut bahkan hilang.

Dulu, ada penelitian oleh Dr Kuncoro (FISIP UGM) pada Juni 1987 yang menyatakan sebanyak 70% dari 148 responden remaja putri Dukuhseti lebih menyukai menjadi pelacur. Sejarah ini sangat ironis. Bahkan, menurut pendapat Kuncoro, dari kelompok tiga besar di Jateng, Dukuhseti menempati peringkat ketiga setelah Desa Bangsri Jepara dan salah satu desa di Wonogiri.

Dukuhseti merupakan salah satu desa di Kecamatan Dukuhseti. Dulu, lokasi kantor kecamatan berada di perempatan Tanggul, namun dulu dipindah Belanda ke Alasdowo. Secara administratif, Dukuhseti memiliki beberapa dukuh dan gang yang terkenal, seperti Dukuh Seti, Dukuh Tanggul, Dukuh Selempung, Dukuh Purbo, Dukuh Spande, Dukuh Oro-oro Tengah, Dukuh Kidul, Dukuh Kulon, Dukuh Spande, Dukuh Kedawung dan sebagainya.

Zaman dulu, Dukuhseti dikenal kampu bahkan Kota Preman. Apalagi, ada legenda bahwa istri dari Mbah Brojoseti Singo Barong, sanga pendiri desa ini, dulu selingkuh dengan orang lain. Konon, warga se kampung disumpah menjadi perempuan simpanan atau orang sekarang menyebutnya pekerja seks komersil atau PSK.

Gerakan Moralisasi
Jika dulu Dukuhseti dikenal sebagai tempat nakal, berkat gerakan moralisasi yang dilakukan tokoh masyarakat Desa Dukuhseti, kini stigma negatif yang melekat di Desa Dukuhseti sudah hilang. Ngalimun, SPd.I, perangkat Desa Dukuhseti yang juga Ketua Umum GP Anshor Ranting Dukuhseti Pati mengatakan, sekitar tahun 1980 an sampai 1990 an, stigma dan label Dukuhseti Kota Preman memang masih melekat. “Tapi sejak tahun 2000 an sampai sekarang, stigma itu sudah lenyap,” beber dia kepada wartawan Harianjateng.com, Senin (27/4/2015) di Dukuhseti, Pati.

Desa yang kini memiliki Kepala Desa bernama Sukarji tersebut, saat ini tumbuh pesat bak kota metropolitan. Tak hanya pembangunan fisik, namun jumlah sekolah, TPQ/TPA, masjid dan pondok pesantren serta musholla juga bertambah banyak. “Dulu waktu masih ramai-ramainya preman, kami bersama Banser selalu melakukan razia dan mencegat (menghentikan) mobil-mobil yang orangnya tidak jelas identitasnya. Hal itu kami lakukan untuk membendung lelaki hidung belang agar tidak membeli perempuan di Dukuhseti,” beber dia.

Zaman dulu, kisah Dukuhseti bisa bebas dari preman memang agak represif. Ngalimun selaku saksi sejarah dan salah satu aktivis gerakan moralisasi saat itu mengakui, bahwa seluruh warga, kepala RT, kepala desa, tokoh masyarakat bekerjasama menggrebek siapa saja yang ngamar ke nakal di Purbo. Apalagi, gerakan tersebut saat itu didukung oleh Pemerintah Kabupaten Pati, sehingga preman memang berhenti sampai akarnya.

Bahkan, saat itu menurut Ngalimun, banyak tamu asing dari kaum pria yang diusir oleh para Banser dari GP Anshor Dukuhseti yang disinyalir mencari istri simpanan dan PSK di Dukuhseti. Hasilnya, menjelang tahun 1990an, jumlah pelacur menurun drastis. Jika saat jayanya tercatat 50 orang, setelah ada gerakan itu habis sudah.

“Dulu di Purbo dikenal perkampungan preman, germonya juga di sana, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Ya, mungkin ada salah satu warga Dukuhseti yang menjadi PSK, tapi ia tidak beroperasi di Dukuhseti, melainkan di Jakarta, itu pun hanya 1-2 orang saja. Tapi informasi yang saya dapat, mereka sudah pulang karena sudah tua dan tidak laku. Berarti jika dihitung, pelacur di Dukuhseti tidak ada,” jelas Ngalimun dengan detail.

Menurut Ngalimun, tempat nakal yang besar zaman dulu adalah di Dukuh Purbo Desa Dukuhseti. Lokasinya berdekatan dengan Desa Banyutowo dan dekat Dukuh Selempung. “Zaman dulu banyak praktik preman di sana, yang didominasi para nelayan, juga sopir, pedagang dan preman. Apalagi banyak nelayan dari luar daerah melaut di Banyutowo, jadi dulu wajar kalau Dukuhseti terkenal premannya,” terang pria tersebut.

Selain dikenal premannya, Dukuhseti dulu juga dikenal sebagai gudang preman, terutama di Dukuh Tanggul atau sering disebut Korea Tanggul. “Dulu zaman almarhum De Gajing, juga waktu Taufik dan Didik Jandot masih muda memang sering terjadi kerusuhan, tapi sejak mereka beristri, saat ini aktivitas preman seperti bacok-bacokan sudah berkurang bahkan nyaris tidak ada,” jelas dia.

Deretan nama-nama preman seperti Taufik, Didik Jandot, Moh Ketek, Ali Gembel, Juari, Wawan Tekek, Zayyin dan sebagainya menurut Ngalimun zaman dulu dikenal warga Pati, terutama di sekitar Kecamatan Tayu dan Margoyoso. Dukuhseti Kota Santri Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kini Desa Dukuhseti berubah menjadi Kota Santri.

Dukuhseti Kota Santri
“Ada banyak masjid berdiri, di Tanggul ada Masjid Darul Islah, di Dukuh Kulon juga ada masjid, di Selempung juga berdiri Masjid dan juga Ponpes AKN Marzuqi, di Dukuh Kedawung juga ada masjid, bahkan H Marwan Jafar juga mendirikan masjid di Dukuh Seti wetan sana,” jelas mantan Ketua IPNU Dukuhseti Pati tersebut.

Selain itu, di tiap RW juga memiliki musholla. “Di Dukuh Kedawung, Pak Kiai Muslim Assalamy juga mendirikan Pondok Pesantren dan mengajari santri-santri dari berbagai daerah mengaji. Di Dukuh Seti juga ada Pak Ali Alhafiz yang mendirikan Pondok Pesantren hafalan Quran, jadi sudah lengkap kalau Dukuhseti saat ini sudah berubah dan tidak seperti dulu lagi,” tukas dia.

Untuk di Dukuh Purbo sendiri, kata Ngalimun, sejak didirikannya Musholla oleh almarhum Nastain, adik ipar saya, juga sudah berubah. “Kalau di Purbo dulu sangat ngeri, di sana gak kenal sholat. Tapi sejak ada musholla, para warga sekitar yang dulu kenalnya hanya bertani dan melaut serta di tambak, kini sudah banyak yang mau mengaji, sholat, yasinan, tahlilan dan menjalankan ibadah,” jelas dia.

Apalagi, saat ini Desa Dukuhseti juga memiliki beberapa tokoh Islam yang sudah dikenal publik. “Seperti Mbah KH. Ahmad Khoirun Nasikin Marzuqi, H Marwan Jafar yang saat ini menjadi menteri, juga tokoh lokal seperti Pak Kiai Muslim Assalamy, Multazam, Kiai Asmawi Hasan, Islahuddin, Kiai Sudarji, Pak Solhan, Supriyanto, Kiai Amar Ma’ruf, Ali Alhafiz, H Mansur, Kiai Toha Alhafiz dan sebagainya juga meneguhkan bahwa Dukuhseti Kota Santri,” bebernya.

Untuk pendidikan Islam, kata Ngalimun, Desa Dukuhseti juga memiliki puluhan sekolah Islam di bawah beberapa yayasan. “Di Tanggul ada MTs, di Dukuh Seti ada MI, di Dukuh Kulon juga ada MI, di Selempung ada SMK Telkom berbasis Pondok, di Selempung juga ada MI dan sebagainya. Hal itu menunjukkan Dukuhseti memang bebas dari preman dan stigma buruk itu harus dihapus,” harap dia.

Saat ini, jamaah pengajian para ibu-ibu baik dari muslimat maupun fatayat juga sudah ramai digalakkan di RT-RT dan di musholla-musholla. Banyak pula TPQ maupun TPA berdiri dan anak-anak belajar mengaji.

Jadi, intinya, menurut Ngalimun yang juga pengurus Makam Mbah Brojo Seti Singo Barong tersebut, Desa Dukuhseti sudah steril dari pelacur dan stigma Dukuhseti Kota Preman berubah menjadi Dukuhseti Kota Santri. (Baca juga: Margotuhu Pati Kota Ikan Lele di Bumi Mina Tani).

 “Ya jelas Kota Santri lah, banyak santri-santri dari Jakarta, Blora, Semarang, Demak, bahkan dari luar Jawa datang ke Dukuhseti untuk mondok dan belajar agama Islam di Selempung, juga belajar menghafalkan Alquran di pondoknya Pak Ali Seti, Pak Muslim Kedawung, itu sudah jelas menjadi bukti bahwa Dukuhseti Kota Santri,” terang dia. (Heri Susanto/Foto: Harian Jateng)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini